Dalam analisisnya, KPPU mencatat bahwa kenaikan impor BU swasta akibat kebijakan ESDM hanya berkisar 7.000–44.000 kiloliter, sementara PT Pertamina Patra Niaga justru mendapat tambahan hingga 613.000 kiloliter.
Dengan pangsa pasar Pertamina Patra Niaga mencapai 92,5 persen di segmen BBM non-subsidi, kondisi ini membuat pasar semakin terkonsentrasi dan rawan praktik monopoli.
Baca Juga:
Harus Tepat Sasaran, ALPERKLINAS Dukung Pemerintah dan PLN Hanya Berikan Subsidi Listrik bagi Ekonomi Lemah
KPPU menekankan perlunya kebijakan publik yang tetap menjamin distribusi lancar, pasokan tersedia, dan iklim persaingan sehat agar pertumbuhan konsumsi BBM non-subsidi tetap berkelanjutan.
Analisis lembaga tersebut menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) sebagaimana diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2023 untuk menguji kesesuaian kebijakan pemerintah terhadap prinsip persaingan usaha.
Berdasarkan hasil analisis, kebijakan pembatasan impor maksimal 10 persen bersinggungan dengan indikator pembatasan penjualan atau pasokan barang dan jasa dalam DPKPU.
Baca Juga:
Hadirkan Pemerataan Akses Listrik Bagi Seluruh Rakyat, ALPERKLINAS Dorong BUMN Lainnya dan Swasta Ikuti Program PLN Beri Bantuan 8000 Listrik Gratis pada HLN 2025
Selain itu, KPPU juga menyoroti kebijakan baru ESDM yang mewajibkan badan usaha swasta membeli BBM dari Pertamina melalui satu pintu, yang dinilai mengarah pada penunjukan pemasok tertentu.
Kondisi ini, menurut KPPU, berpotensi menciptakan diskriminasi harga, pembatasan pasar, hingga inefisiensi infrastruktur milik swasta yang bisa menghambat investasi sektor migas.
KPPU mengingatkan bahwa setiap kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan keseimbangan antara stabilitas energi, efisiensi pasar, dan keberlanjutan investasi agar tidak menciptakan distorsi ekonomi.