WahanaNews.co |
Rendahnya literasi jadi salah satu faktor meruyaknya hoaks vaksinasi Covid-19
di Indonesia, meskipun Kemenkes telah melakukan edukasi hingga penguatan
literasi terkait isu kesehatan. Hal itu diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat Kemenkes, Widiyawati.
Baca Juga:
Viral Kabar Amien Rais Meninggal Dunia, Tasniem Rais: Hoaks
"Itu adalah langkah utama yang terus menerus memang
kami lakukan untuk melawan persebaran berita disinformasi atau hoaks ini,"
ujar Widiyawati dalam dialog 'Melawan hoaks dan Misinformasi Vaksinasi
COVID-19', Rabu (7/8).
Widiyawati menuturkan isu kesehatan bersifat spesifik.
Sehingga butuh keahlian khusus untuk menjawab atau mengklasifikasikan apakah
sebuah informasi seputar kesehatan itu benar atau sebaliknya.
Widiyawati mengimbau masyarakat terlebih dahulu menyaring
sebelum menyebar sebuah informasi atau 3S. Dia yakin masyarakat akan memahami
informasi yang diterimanya benar atau sebaliknya.
Baca Juga:
Hoaks! Viral Pesan Via WA soal Tambahan BLT Rp 400 Ribu
Widiyawati juga menyarankan masyarakat melihat kanal resmi
Kemenkes untuk mengetahui sebuah kebenaran informasi. Dia memastikan pihaknya
akan terus memperbarui informasi seputar informasi yang menjadi polemik di
tengah masyarakat.
Communication for Development Specialist UNICEF, Rizky Ika
Syafitri menyatakan pihaknya sempat melakukan survei terkait dengan vaksinasi
Covid-19. Hasilnya, 65 persen menyatakan siap divaksin, 27 persen ragu-ragu,
dan sisanya menolak.
"Kalau ditanya menolak, selalu alasannya keamanan dan
efektivitas vaksin. Ada lagi soal halal dan haram vaksin," ujar Rizky.
Rizky menyampaikan sebuah hoaks bisa menyebar hingga sepuluh
tingkatan hanya dalam 24 jam. Sedangkan klarifikasi, tidak bisa mencapai level
itu dalam waktu yang sama.
"Jadi hoaks ini tidak bisa ditangani business as usual.
Ini bukan main-main, ini risikonya dampaknya nyawa. Orang kehilangan haknya
atas imunisasi atas pelindungan diri. Kita bisa mengalami wabah dan tidak
mencapai herd immunity karena hoaks," ujarnya.
Terkait dengan itu, dia menyampaikan hoaks harus ditangani
dari hulu ke hilir. Misalnya, masyarakat harus dibekali dengan literasi digital
bahwa semua yang ada di internet itu benar.
"Biasakan menggunakan sumber-sumber yang
dipercaya," ujar Rizky.
Dia menambahkan perlunya perangkat untuk menangkal hoaks,
misalnya situs atau medsos yang berisi klarifikasi atas informasi yang menjadi
polemik di masyarakat.
"Tapi kuncinya benar-benar dikolaborasi. Karena ini
tidak bisa ditangani sendiri. Perlu pemerintah, masyarakat sipil, dan penegak
hukum," ujarnya.
Berdasarkan data Kemkominfo, sebanyak 1.513 isu hoaks
Covid-19 ditemukan sejak 23 Januari hingga 6 April 2021. Pengajuan takedown
mencapai 2.987 dengan 2.600 sudah ditindaklanjuti. Sebanyak 113 sudah masuk ke
ranah hukum.
Kominfo menyampaikan Facebook menjadi tempat sebaran
Covid-19 terbanyak dengan 2.411. Kemudian diikuti Twitter sebanyak 503, YouTube
sebanyak 49, dan Instagram sebanyak 24.
Sedangkan khusus terkait hoaks vaksin Covid-19, Kominfo
mencatat ada 154 isu hingga 6 April 2021. Lagi-lagi, Facebook menjadi tempat
paling banyak tersebarnya hoaks vaksin Covid, kemudian disusul Twitter,
YouTube, TikTok, dan Instagram. [dhn]