Ia menambahkan, pola serupa juga lazim di dunia swasta karena banyak perusahaan menanggung PPh karyawan agar pegawai menerima gaji bersih tanpa direpotkan administrasi pajak.
“Intinya, pajak tetap dibayar ke negara, hanya mekanisme pembebanannya yang berbeda demi kepastian dan kemudahan administrasi,” ucapnya.
Baca Juga:
Guna Wujudkan Situasi Aman dan Kondusif, Satlantas Polresta Jambi Gelar Razia Balap Liar Dan Knalpot Brong
Publik menyoroti adanya tunjangan PPh Pasal 21 yang diberikan kepada anggota DPR, karena komponen ini dianggap membuat legislator tidak menanggung pajak pribadi.
Besaran tunjangan tersebut mencapai Rp 2,69 juta per bulan, padahal tarif PPh 21 bersifat progresif sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Tarif dimulai dari 5 persen untuk penghasilan sampai Rp 60 juta per tahun hingga 15 persen untuk penghasilan Rp 60 juta–Rp 250 juta.
Baca Juga:
2027 Pemerintah dan DPR Sepakat, Jalanan Bebas dari 'Truk Obesitas'
Pengaturan gaji dan tunjangan anggota DPR RI merujuk pada Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Berdasarkan PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR ditetapkan sebesar Rp 4,2 juta per bulan, Ketua DPR Rp 5,04 juta, dan Wakil Ketua Rp 4,62 juta.
Di luar gaji pokok, sederet tunjangan membuat total penghasilan atau take home pay anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan.