WahanaNews.co | Uskup Keuskupan Padang Mgr Vitus R Solichin, SX, menghadiri pertemuan perkenalan Duta Besar LBBP Takhta Suci Vatikan Michael Trias Kuncahyono dengan para rohaniwan-rohaniwati yang berada di Roma.
Pertemuan diselenggarakan di KBRI Takhta Suci Vatikan di Roma pada akhir pekan lalu, Sabtu (18/11).
Baca Juga:
Paus Fransiskus Umumkan Daftar Kardinal 2024, Ada dari Indonesia
Tak kurang dari 150 rohaniwan-rohaniwati yang tergabung dalam Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi Roma (IRRIKA).
Saat ini tercatat ada 1568 rohaniwan-rohaniwati Indonesia di Italia yang ada di berbagai kota.
Salah satu tanggung jawab KBRI Takhta Suci Vatikan adalah mengurusi mereka.
Baca Juga:
Paus Fransiskus Angkat Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM menjadi Kardinal Baru untuk Indonesia
Mereka ada yang sedang tugas belajar, ada yang berkarya (di bidang pendidikan, kesehatan, mengurusi panti jompo dan juga anak-anak yatim piatu), dan ada yang berkarya di Vatikan serta menjabat sebagai pimpinan ordo, konggregasi atau tarekat.
Hadir pula dalam pertemuan itu Kuasa Usaha ad Interim (KUAI) KBRI Roma, Lefianna H. Ferdinandus dan beberapa stafnya, serta para anggota Dharma Wanita baik KBRI Takhta Suci maupun Roma.
Menghadirkan Indonesia
Dalam pesannya Uskup Vitus mengingatkan agar para rohaniwan-rohaniwati baik yang berkarya maupun belajar, benar-benar menghadirkan Indonesia, wajah Indonesia yang majemuk, yang cinta damai, dan yang toleran.
Dengan kata lain, para anggota IRRIKA harus benar-benar "100 persen Katolik, 100 persen Indonesia", mengutip semboyan yang disampaikan Uskup Agung Semarang Mgr. Albertus Soegijapranata (1896-1963).
Soegijapranata, bagi umat Katolik Indonesia, adalah tokoh yang sangat istimewa. Ia adalah Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia (1940).
Di bawah kepemimpinannya seluruh umat Katolik di Jawa menjadi pendukung dan pejuang Republik Indonesia yang masih belia.
Hal yang sama juga ditekankan oleh sesepuh IRRIKA, Romo Agustinus Purnama Sastrawijaya MSF yang sekarang menjabat sebagai Superior Jenderal MSF (Pemimpin Umum Kongregasi MSF).
Ia mengatakan, bahwa ke-Indonesiaan kita harus selalu melekat dalam diri kita dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada.
Dalam bahasa yang lain, Dubes Takhta Suci, mengatakan walau di negeri orang, kita harus tetap menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Yakni yang jiwa raganya selalu mengedapankan kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang tinggi tanpa harus mematikan hak-hak individu sesuai semangat demokrasi.
"Kita adalah satu keluarga. Keluarga Indonesia. Karena itu, jadikanlah KBRI ini sebagai rumah kita bersama. Rumah Indonesia yang kita banggakan," katanya.
Apalagi, katanya, dalam Statuta IRRIKA secara jelas dinyatakan, bahwa paguyuban ini dibentuk sebagai wadah persaudaraan berdasarkan iman Katolik dan cinta tanah air.
Paguyuban IRRIKA dibentuk pada 13 Februari 1955, yang semula bernama IRIKA (Ikatan Romo-Romo Indonesia di Kota Abadi - Roma). Ketua pertama IRIKA adalah (yang kemudian menjadi Kardinal pertama Indonesia) Romo Yustinus Darmojuwono Pr.
Karena anggotanya semakin banyak dan bukan hanya para romo saja, tapi juga suster, frater, dan bruder, serta tersebar di berbagai kota di Italia, maka pada tahun 1986 namanya diubah menjadi IRRIKA.
Takhta Suci Vatikan adalah negara pertama di Eropa yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan tersebut ditandai dengan pembukaan misi diplomatik Vatikan di Jakarta pada tingkat Apostolic Delegate (Delegasi Apostolik) 5 Juli 1947.
Dan menunjuk Mgr. George de Jonghe D’ardoye, delagatus apostolic pertama Vatikan untuk Republik Indonesia dan berkedudukan di Jakarta.
Pada 16 Maret 1950, Vatikan meresmikan Internunsiatur Apostolik. Hubungan resmi kedua negara terjalin sejak 25 Mei 1950.
Status Internunsiatur Apostolic menjadi Nunsiatur Apostolik yakni misi diplomatik tingkat tertinggi Takhta Suci pada 7 Desember 1966.
Vatikan menjadi entitas politik pertama di Eropa yang mengaku bahwa Indonesia sebagai negara yang merdeka.
Vatikan juga merupakan salah satu dari lima negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia: Mesir (22 Maret 1946), India (02 September 1946), Suriah (02 Juli 1947), Vatikan (05 Juli 1947), dan Irak (16 Juli 1947).
Pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia oleh Vatikan dan terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan, tidak lepas dari usaha serta jasa Mgr Albertus Soegijapranata.
Pada 18 Januari 1947, Mgr Soegijapranata mengirimkan surat ke Paus Pius XII. Ia menyampaikan kekejaman tentara Belanda di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, 17Agustus 1945.
Hasil dari diplomasi Mgr Soegijapranata itu, Vatikan mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, 5 Juli1947.
Selain itu, Vatikan juga menggerakan hati umat Katolik di seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama. Hal itu, berdampak ke masyarakat internasional.
Hingga saat ini, hubungan Vatikan-Indonesia terus tetap bertahan hangat dan semakin baik.
Hubungan kedua negara harmonis meski mayoritas penduduk kedua negara menganut agama berbeda.
Bahkan, Presiden pertama RI, Soekarno, yang pernah empat kali mengunjungi Vatikan, menerima tiga medali sebagai tanda jasa dari Paus.
Yang pertama diterima pada 13 Juni 1956 dari Paus Pius XII; yang kedua, pada 14 Mei 1959 dari Paus Yohanes XXIII; dan yang ketiga pada 12 Oktober 1964 dari Paus Paulus VI.
Pada kunjungan ketiga, bahkan Vatikan membuatkan perangko khusus untuk Bung Karno. Dan, dihadiahi cindera mata berupa lukisan mozaik Castel San Angelo Vatikan.
Selama ini, sudah dua Paus yang mengunjungi Indonesia: Paus Paulus VI mengunjungi Indonesia (3 Desember 1970) dan Paus Yohanes Paulus II (8-12 Oktober 1989).
Selain Bung Karno, presiden Indonesia yang pernah mengunjungi Vatikan adalah Presiden Soeharto (25 November 1972) bertemu Paus Paulus VI; Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (2000) dan Presiden Megawati Soekarnoputri (2002).
[Redaktur: Zahara Sitio]