Ia menerangkan bahwa Vaksin Nusantara tidak visible untuk kesehatan masyarakat. Namun, untuk program vaksinasi
mandiri, hal ini masih masuk akal.
"Kalau untuk rumah sakit bisa,
tapi akan memerlukan orang yang memang (butuh), kalau ditanggung negara,
ditanggung BPJS atau bayar sendiri (tidak mungkin)," jelas Dicky.
Baca Juga:
Viral Remaja Bisa Berjalan Usai Vaksin Nusantara, Pakar IDI Buka Suara
"Jadi, menurut
saya, pada saat ini kalau bicara dikatakan sama, ya berapa orang, dengan
subsidi dari mana. Dan ini dalam masa riset, saya belum melihat ada
hitung-hitungannya. Makanya negara maju tidak memilih ini, karena enggak cost effective," tambahnya.
Peneliti utama Vaksin Nusantara dari RSPAD Gatot Subroto,
Jonny, menjamin harga vaksin yang dibesut pihaknya dan Terawan sebanding
dan bersaing dengan sejumlah merek vaksin Covid-19 lain yang beredar di
Indonesia.
Jonny menerangkan, pihaknya hanya
mengambil sebanyak 40 mililiter dalam setiap sampel darah yang diambil.
Baca Juga:
RSPAD: Tim Peneliti Cek Soal Kabar Penerima Vaksin Nusantara Bisa Berjalan Kembali
Jumlah itu, katanya, jauh lebih
sedikit jika dibandingkan sampel darah yang diambil untuk pengembangan sel
dendritik untuk kanker.
"Nah itu mungkin yang mahal
karena untuk pengobatan sel kanker dan tidak bisa sekali. Yang sampai ratusan
juta. Ya, itu untuk kanker. Kok
disamain sama kita. Wong yang ini
cuma sekali dengan pengambilan darah 40 mililiter," ujar Jonny.
Pengembangan Vaksin
Nusantara saat ini mandek setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum
mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II
Vaksin Nusantara karena tak memenuhi sejumlah syarat, di antaranya syarat cara
pembuatan obat yang baik (CPOB).