Oleh DONY KLEDEN
Baca Juga:
Merasa Dirugikan, 2 Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK Agar Bisa Hidup di RI Tanpa Beragama
KEGADUHAN demi kegaduhan terus saja memenjarakan kita sebagai insan sosial sekaligus religius pada tataran destruktif.
Terendus ada ketikberesan dalam memahami pesan agama dan penghayatannya.
Baca Juga:
Selebgram Medan Ratu Entok Ditahan, Kasus Yesus Diminta Potong Rambut
Agama pada dasarnya adalah sebuah entitas dari keanekaan kehidupan manusia.
Karena sebagai sebuah entitas, agama meleburkan diri dalam sebuah sistem di mana di dalamnya terdapat entitas lain yang saling mempengaruhi.
Dan karena itu agama tidak bisa melepaskan diri dari kerja sistem yang harus bersinggungan dengan entitas lain dengan harapan bisa saling melengkapi dan mendukung.
Membaca hadir dan peran agama dalam kehidupan kita sebagai sebuah negara Indonesia sekarang ini, rasanya ada lompatan kuantum yang mengangkangi kekhusukan ajaran moral agama yang selama ini menjadi suluh dan pandu kehidupan sosial.
Pemikiran yang paling sederhana terkait dengan pemahaman yang demikian ini adalah moralitas agama tidak pernah lepas dari moralitas sosialnya.
Artinya, ajaran moralitas agama itu hanya bisa terbukti dari moralitas kehidupan sosial masyarakat dan pemeluknya.
Interpretasi Agama
Sesungguhnya agama itu sendiri adalah sebuah interpretasi.
Karena agama pada dirinya sendiri adalah sebuah bekuan interpretasi, maka agama tidak mempunyai kriteria yang kokoh tentang ajaran dan keyakinan akan keselamatan selain berpijak pada sebuah rabaan tafsir.
Karena berpijak pada rabaan tafsir maka kriteria yang dipakai pun adalah kriteria yang baik dalam kaca mata manusia yang sangat mungkin saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Konflik antar agama karena klaim kebenaran adalah bukti dari perbedaan tafsir itu.
Pada peradaban modern sekarang ini, kehidupan manusia beragama ditandai dengan berbagai proses estetisasi dan individualisasi, yakni menguatnya kecenderungan hidup sebagai proses seni di satu pihak, dan pemuasan hasrat individu di lain pihak.
Produk yang dikonsumsi tidak dilihat dari fungsi, tetapi dari simbol yang berkaitan dengan identitas status yang bermuara pada cinta diri dan pengabaian nilai sosial.
Pada kecenderungan ini, esensi kehidupan menjadi tidak penting, karena sebagai sebuah seni, kehidupan itu memiliki makna keindahan sehingga yang dihayati dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991).
Makanan bukan lagi merupakan proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi lebih merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan pada saat makan.
Tata makan dan seni di dalam praktik makan, telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya (Abdullah, 2006:114 ).
Hal yang demikian juga terjadi pada agama.
Kehadiran agama tidak lagi disadari sebagai sumber nilai moral, tetapi pada akhirnya membawa orang pada penghayatan yang estetis dan invidualistis.
Peristiwa ditangkapnya para pemuka agama yang terlibat dalam berbagai jaringan penghayat agama yang radikal dan mengarah para terorisme adalah contoh dari sebuah penghayatan agama yang estetis dan individualistis.
Agama tidak lagi disadari sebagai penyebar nilai-nilai moral sosial yang teduh, damai dan penuh dengan keugaharian. Justru malah sebaliknya, agama menjadi sumber perpecahan dan kematian karena tidak lagi menjaga dan menumbuhkan nilai-nilai moral.
Peniadaan Diri
Memudarnya wajah agama yang teduh dan ugahari adalah pertanda bahwa agama sedang dalam proses peniadaan dirinya.
Hal ini menjadi semakin rumit tatkala para pemuka agamanya pun tidak lagi memproklamirkan agama di setiap dakwah dan ajarannya dengan ajaran-ajaran yang meneduhkan dan yang membangkitkan semangat cinta sesama tetapi malah memprovokasi umat untuk memerangi yang berbeda.
Para pemuka agama terlihat sibuk mencari popularitas diri dengan menjual dirinya dengan ajaran-ajaran yang provokatif dan anti keberagaman.
Dengan berbagai simbol agamanya, mereka dengan mudah mencari pembenaran popularitas tanpa disadari oleh para pengikutnya.
Para pemuka agama sibuk mencari ayat-ayat suci untuk membenarkan hasratnya yang terselubung dari setiap ajarannya.
Hal tersebut membuat agama menjadi sangat arogan dan mendera kehidupan sosial bernegara.
Agama menjadi barang dagangan yang sangat murah karena dipakai untuk mencari pembenaran, dan pada saat yang sama menjadi semacam lipstik untuk mempercantik diri dan menggalang simpati.
Dalam situasi yang demikian, negara harus hadir dan memberi ingat serta sadar, bahwa agama adalah sebuah entitas yang ada dalam rumah besar Indonesia.
Arogansi agama hanya akan menyudahi dirinya sendiri, karena negara punya kepentingan yang lebih besar dan faktual yakni menyelamatkan rakyatnya dari berbagai rongrongan yang hedak menumbangkan rumah besar Indonesia ini, termasuk rongrongan dari agama.
Agama adalah sebuah elemen yang ikut memberi kuat dan kokoh rumah besar Indonesia.
Karena itu agama tidak boleh berjalan sendiri dan membangun perspektifnya sendiri.
Agama tidak boleh menjadi arogan dan pragmatis hanya karena mau mengejar sensasi dan kediriannya.
Agama dalam arti ini, harus mampu memberikan pelayanan tidak hanya dalam mendukung dan meningkatkan keyakinan agama pemeluknya, tetapi juga dalam memperluas implikasi agama di luar bidang agama itu sendiri.
Dengan demikian, agama tidak hanya menegaskan fungsinya bagi umat, tetapi performance-nya dalam memberikan solusi di luar masalah agama, termasuk ikut memperjuangkan stabilitas negara yang kita cintai ini. (Dony Kleden, Rohaniwan Katolik dan Pemerhati Masalah Sosial-Politik)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Arogansi Agama”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/04/arogansi-agama.