Oleh RETMAWATI
Baca Juga:
Basuki: Penundaan Kenaikan Tarif Tol Akibat Pandemi, Tak Selalu Salah Pemerintah
PANDEMI Covid-19 yang sudah berjalan hampir dua tahun menimbulkan banyak persoalan di berbagai bidang.
Tak hanya dalam masalah kesehatan atau ekonomi, pandemi pun menimbulkan masalah dalam lingkup kebahasaan.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sampaikan Perkembangan Perekonomian Indonesia 10 Tahun Terakhir
Singkatan dan akronim berjejalan mengisi ruang publik.
Menyusup pula dalam keseharian masyarakat, silih berganti sesuai perkembangan grafik pandemi dan kebijakan yang diambil pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), singkatan diartikan sebagai "hasil menyingkat (memendekkan), berupa huruf atau gabungan huruf" (misalnya DPR, KKN, yth, dsb, dan hlm).
Bisa pula diartikan sebagai "kependekan"; "ringkasan".
Adapun akronim dalam KBBI diartikan sebagai "singkatan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (misalnya ponsel telepon seluler, sembako sembilan bahan pokok, dan Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)".
Ketika pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, pada akhir Maret 2020, pemerintah mulai memperkenalkan pembatasan sosial berskala besar atau disingkat PSBB untuk membatasi pergerakan masyarakat.
Seiring dengan itu, muncul 3M (mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) yang pada perkembangannya berubah menjadi 5M (3M ditambah menjauhi kerumunan dan membatasi mobilitas).
Tak hanya itu, muncul juga 3T, PJJ, PTM, PTMT, SPRT, dan PPKM.
Dari "kubu" akronim, muncullah isoman, nakes, kuncitara, lantatur, gustu, hingga prokes.
Sesaknya singkatan dan akronim yang mengisi ruang publik nyatanya cukup menyulitkan masyarakat.
Dalam suatu webinar yang saya ikuti, ketika PPKM baru saja menggantikan PSBB, seorang pembicara terlihat kesulitan dan berkali-kali salah mengucapkan PPKM.
Pada akhirnya, dia menyebutnya dengan "pengganti PSBB".
Hal yang sama terjadi saat pengetatan PPKM di wilayah Jabodetabek.
Dalam grup Whatsapp yang saya ikuti, yang anggotanya sebagian besar perempuan pekerja di Ibu Kota, suasananya riuh rendah dengan informasi terkait persyaratan yang harus dibawa saat ke kantor.
STRP (Surat Tanda Registrasi Pekerja) menjadi pembahasan hangat, bukan hanya karena disyaratkan untuk dibawa, melainkan juga karena anggota grup terbolak-balik saat menyebutnya menjadi SPRT atau SRPT.
Keributan berkurang ketika seorang anggota grup mengusulkan cara mudah untuk mengingatnya, yaitu dengan memakai kata "setrap" ("hukuman di sekolah").
Tinggal menghilangkan huruf vokalnya saja dan keributan pun mereda.
Menjadi Meme
Akronim dan singkatan yang berjejalan mengisi ruang publik pun untuk beberapa kalangan menjadi sindiran dan berakhir sebagai meme.
Sebutlah PSBB yang menjadi "pembagian sembako berskala besar" atau PPKM yang menjadi "pernah peduli kemudian menghilang".
Pada dasarnya, bahasa memang selalu berkembang.
Sebelum tahun 2020, kita mengenal 3M sebagai bagian dari kampanye penanggulangan DB, yaitu menguras, menutup, dan mengubur.
Namun, apakah singkatan dan akronim akan terus dijejalkan selama pandemi yang entah kapan akan berakhir ini?
Kembali ke pengguna bahasa.
Apakah akan mencari padanan, misalnya STRP menjadi surat keterangan/tanda pekerja atau kuncitara menjadi pembatasan.
Yang pasti, kita semua mengharapkan pandemi Covid-19 segera berakhir dan kehidupan kembali "normal". (Retmawati, Penyelaras Bahasa Kompas)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Banjir Singkatan Kala Pandemi". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/09/04/banjir-singkatan-dan-akronim-kala-pandemi/.