Oleh BUDIMAN TANUREDJO
Baca Juga:
Akun X Pelesetkan Logo NU Jadi 'Ulama Nambang' Warga Surabaya Lapor Polisi
SUDAH dua Sabtu, kolom ini tak muncul.
Beberapa orang bertanya melalui telepon.
Baca Juga:
MUI Larang Salam Lintas Agama, Ini Tanggapan PBNU
Saya jawab karena koran tidak terbit.
Banyak peristiwa yang sebenarnya layak diulas, tetapi tak sempat diulas.
Salah satu peristiwa yang membanggakan sekaligus juga mengharukan adalah transisi kepemimpinan di Nahdlatul Ulama melalui Muktamar Ke-34 di Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Bukan soal menang dan kalah, melainkan keadaban dan tradisi yang ditunjukkan oleh elite Nahdlatul Ulama.
Luar biasa.
Saya menyaksikan melalui tayangan televisi bagaimana keadaban tinggi dipertontonkan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan KH Said Aqil Siroj.
Rivalitas yang begitu tinggi menjelang muktamar selesai dengan adem setelah terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU (PBNU) periode 2021-2026 dan KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam PBNU.
Dalam pidato perdananya setelah terpilih pada Jumat, 24 Desember 2021, Gus Yahya mengatakan, ”…Saya haturkan terima kasih saya kepada guru saya, yang mendidik saya, menggembleng dan menguji saya, tetapi juga membuka jalan untuk saya dan membesarkan saya, yaitu Prof Dr KH Said Aqil Siroj. Kalau ini disebut keberhasilan, sesungguhnya ini adalah (keberhasilan) beliau. Kalau ada yang patut dipuji, beliau yang harus dipuji.”
KH Said Aqil juga mengucapkan selamat kepada Gus Yahya dan mengakui bahwa Ketua Umum PBNU terpilih tersebut bukanlah orang asing baginya.
”Ayah saya belajar ngaji alfiyah di Rembang bimbingan Kiai Cholil Harun, buyutnya Gus Yahya. Saya bersyukur, kalaupun katanya agak panas, ternyata selesai dengan damai, nyaman, dan ketawa. Kita lupakan kemarin. Kita gandeng tangan membesarkan NU,” ujar Kiai Said.
Pernyataan Gus Yahya dan Kiai Said itu melegakan.
Tradisi dan keadaban (politik) yang ditunjukkan NU adalah kontribusi NU untuk bangsa ini atau bahkan untuk dunia.
Bangsa yang sedang terjebak pada pembelahan tajam.
Pembelahan akibat kontestasi pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah yang mengeksploitasi politik identitas masih saja terasa membekas sampai sekarang.
Pembelahan itu terjadi karena urusan politik kekuasaan.
Bangsa ini seperti terjebak pada polarisasi; hitam dan putih, cebong dan kampret, pemuja berlebih dan pembenci berlebih.
Pembelahan tajam itu telah membuat kosongnya kekuatan tengah, kekuatan masyarakat sipil.
Rakyat seperti dibiarkan sendirian.
Ditinggalkan elite politik.
Seorang intelektual muda menelepon saya pada awal tahun 2022.
”Saya bukan tidak percaya dengan data soal kemiskinan. Namun, saya melihat sendiri bagaimana kemiskinan akut bisa ditemukan di desa-desa di Jawa. Sementara saya melihat manuver elite politik tertuju pada 2024, lalu siapa yang akan bekerja untuk Indonesia?” ujarnya.
Saya sendiri punya harapan, kosongnya kekuatan tengah yang bisa menjalankan peran sebagai intermediasi antara negara dan masyarakat juga bisa diisi oleh Gus Yahya dan Nahdlatul Ulama.
Partai politik memang sedang menikmati masa keemasan dengan menguatnya oligarki.
Undang-undang bisa dengan cepat diproduksi ketika ada kepentingan oligarki di sana.
Namun, ketika undang-undang dituntut publik untuk kepentingan publik, justru berputar-putar tak keruan.
Ketika kekerasan seksual terus merebak, DPR justru menghindari percepatan pembahasan.
Saat UU Perampasan Aset dibutuhkan, DPR justru lebih senang membahas RUU Ibu Kota Negara.
Elite masyarakat sipil sedang duduk tenang ikut menikmati kekuasaan yang memang memesona dan mengagumkan.
Dunia kampus seperti kehilangan elan intelektualitasnya karena jebakan birokrasi administrasi yang melelahkan.
Kampus menjadi dunia yang sepi.
Kampus menjadi menara gading yang terlepas dari masyarakatnya.
Meminjam istilah Guru Besar Antropologi Hukum pada Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, masyarakat ilmiah pun mati akibat kebijakan antisains dan kebijakan sentralisasi politik (Kompas, 7 Januari 2022).
Pada sektor lain terasa ada pertautan kepentingan antara dunia usaha dan politisi.
Penguasa sekaligus pengusaha.
Dalam konteks politik itulah, terang dan harapan muncul dari Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana dinyatakan Gus Yahya dalam sejumlah wawancara, ia akan melepaskan NU dalam politik praktis.
”Saya tidak mau ada calon presiden dan wakil presiden dari PBNU,” kata Gus Yahya di Jakarta, Minggu (19/12/2021).
Salah satu pertimbangan yang dikemukakan Gus Yahya adalah residu pemilihan presiden yang sampai saat ini masih menyisakan pembelahan politik di masyarakat.
”Mari istirahat dulu, mari sembuhkan dulu luka-luka dan mengutuhkan kembali polarisasi yang sudah terjadi,” ujar Gus Yahya, seperti dikutip Kompas, 28 Desember 2021.
Rekam jejak Gus Yahya yang tidak silau dengan kekuasaan diyakini akan bisa membuatnya menjalankan peran sebagai ”muazin” bangsa.
”Muazin” yang akan selalu berteriak tentang ketidakadilan, berteriak tentang pentingnya kemanusiaan dan perdamaian, serta mempromosikan soal moderasi beragama, berteriak soal betapa berbahayanya korupsi.
Bangsa ini membutuhkan konsolidasi agenda masyarakat sipil untuk rekonstruksi sistem ekonomi, sistem politik, ataupun sistem sosial berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Mengapa korupsi terus saja merajalela di negeri ini?
Mengapa hukum seperti ditinggalkan dan politik menjadi panglima?
Mengapa demokrasi hanya prosedural dan tidak pernah menjadi substansi?
Mengapa eksploitasi alam terus saja terjadi meski alarm kehancuran ekologis terus disuarakan?
Mengapa kampus menjadi menara gading?
Rumusan masalah itu harus bisa disusun dan diperjuangkan masyarakat sipil agar blangko kosong tak selalu diisi kekuatan oligarki tanpa melibatkan kekuatan masyarakat sipil yang memang sedang tertidur lelap.
Saya akan menutup tulisan dengan kekhawatiran Prof Sulistyowati Irianto: ”kerusakan laten akibat tercerabutnya kebebasan akademis, roh para ilmuwan, dan matinya budaya ilmiah…. Ini adalah kemunduran sebuah bangsa. Cita-cita para pendiri bangsa agar bangsa Indonesia kembali merebut kejayaan Sriwijaya sebagai pusat ilmu mancanegara sudah menjadi mimpi yang patah”.
Semoga saja tidak. (Budiman Tanuredjo, Wartawan Senior dan Kolumnis)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Cahaya dari Bandar Lampung”. Klik untuk baca: Cahaya dari Bandar Lampung - Kompas.id.