WAHANANEWS.CO, Jakarta - Bagi masyarakat banyak, peristiwa mobil ditarik leasing di tengah jalan sangat sering terjadi, bahkan jadi hal yang dianggap wajar. Hal ini terjadi karena pihak perusahaan pembiayaan sebagai Kreditor berpegang pada Pasal 15 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menegaskan bahwa sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial langsung sama dengan putusan pengadilan yang inkracht.
Padahal, sejak Putusan No. 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan No. 2/PUU-XIX/2021 diucapkan oleh Mahkamah Konstitusi, praktik penarikan kendaraan oleh perusahaan pembiayaan tidak lagi sesederhana “kredit macet, mobil ditarik”.
Baca Juga:
Ibu Menyusui Terjerat Kasus Fidusia Ditemui KDM, Upayakan Restorative Justice
Dua putusan Mahkamah Konstitusi ini telah merekonstruksikan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di Indonesia. Mahkamah Konstitusi menegaskan, sertifikat jaminan fidusia memang memiliki kekuatan eksekutorial, tetapi pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara sepihak.
Eksekusi sah bila debitur mengakui wanprestasi dan menyerahkan kendaraan secara sukarela. Jika tidak, kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.
Dalam konteks ini, eksekusi jaminan fidusia yang selama ini dianggap perkara perdata, kini bisa berimplikasi pidana, bila dijalankan dengan cara paksa dan diluar koridor hukum.
Baca Juga:
Kasus Fiduasia, Ibu Menyusui Jadi Terdakwa Minta Maaf ke Adira Mohon Tak Lagi Dibui
Dari Wanprestasi ke Pidana
Dalam hukum perdata, jaminan fidusia adalah perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian pokok utang piutang. Hubungan antara kreditor dengan debitor adalah murni kontraktual dan asas pacta sunt servanda menjadi dasar bahwa debitur wajib melunasi utangnya, dan kreditur berhak mengeksekusi jaminan bila terjadi wanprestasi.
Namun, UU Jaminan Fidusia memuat klausul khusus yakni kreditor memiliki hak menjual sendiri barang jaminan jika debitor wanprestasi. Akibatnya kreditor dapat menafsirkan sendiri kapan debitor wanprestasi.