Perubahan tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap eksekusi jaminan fidusia dapat diartikan sebagai penegasan prinsip konstitusionalitas dalam hukum privat. Hukum perdata tidak lagi semata-mata menegakan kepastian (lex certa) bagi kreditor, tetapi juga kemanusiaan dan keadilan substansial (lex humana) bagi debitor.
Mahkamah Konstitusi menempatkan eksekusi sebagai bagian dari due process of law yang memastikan semua pihak diperlakukan setara dan mematuhi aturan serta prinsip hukum yang berlaku, sehingga setiap tindakan yang bisa menghilangkan hak seseorang harus melalui mekanisme peradilan.
Baca Juga:
Ibu Menyusui Terjerat Kasus Fidusia Ditemui KDM, Upayakan Restorative Justice
Prinsip ini tampak jelas dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak kekuasaan sepihak oleh kreditor dan mengembalikan kontrol ke pengadilan sang penjaga keadilan.
Dari perspektif teori hukum progresif, Mahkamah Konstitusi berupaya untuk menggerakkan hukum untuk melindungi manusia, bukan sebaliknya. Penegasan tentang eksekusi jaminan fidusia sepihak tidak boleh dilakukan tanpa pengakuan wanprestasi menandakan peralihan menuju hukum yang lebih humanistik.
Antara Hak Kreditor dan Hak Debitor
Baca Juga:
Kasus Fiduasia, Ibu Menyusui Jadi Terdakwa Minta Maaf ke Adira Mohon Tak Lagi Dibui
Secara filosofis, putusan Mahkamah Konstitusi bukan sebagai bentuk pelemahan terhadap kreditor, tetapi menjadi penyeimbang posisi hukum antara kreditor dan debitor yang cenderung kreditor menjadi pihak yang lebih superior.
Dalam konteks hubungan perjanjian pembiayaan, terdapat kesenjangan antara kedudukan kreditor dengan debitor. Kreditor berada pada posisi yang lebih kuat karena didukung sumber daya ekonomi yang besar dan kelengkapan dokumen hukum mengikat.
Sebaliknya, debitor sering kali hanya mengandalkan aset fisik, seperti barang-barang keperluan sehari-hari, sebagai jaminan. Maka hukum hadir untuk menjaga agar kekuatan yang dimiliki kreditur tidak menjadi kesewenang-wenangan.