Praktik ini yang dapat memunculkan kesewenangan-wenangan, begitu cicilan macet sebulan, kreditor dengan menggunakan jasa debt collector turun tangan, terkadang dengan nada keras dan kasar bahkan sampai dengan tindakan memaksa dibarengi ancaman kekerasan. Barang jaminan pun akhirnya dirampas tanpa ijin, kadang di rumah dan tak jarang di jalanan.
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/2019, hak menentukan siapa dan kapan telah terjadi wanprestasi diserahkan kepada otoritas peradilan. Hal ini membuat debitor justru berhak mempertahankan barang jaminan sampai ada putusan pengadilan. Artinya, jika ada pihak yang memaksa mengambil barang jaminan tanpa putusan pengadilan adalah perbuatan pidana.
Baca Juga:
Ibu Menyusui Terjerat Kasus Fidusia Ditemui KDM, Upayakan Restorative Justice
Potensi pidana bagi kreditor bisa saja terjadi ketika eksekusi dilakukan tanpa alasan yang sah, misalnya penarikan dilakukan dengan cara paksa, mengancam atau merampas barang dijalan maka perbuatan tersebut tidak lagi perkara perdata tetapi sudah dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. Berikut beberapa pasal yang dapat digunakan antara lain:
Pasal 368 KUHP - Pasal 482 KUHP Nasional : Pemerasan – jika penarikan dilakukan dengan ancaman kekerasan untuk memaksa debitor menyerahkan barang.
Pasal 365 KUHP – Pasal 479 KUHP Nasional : Pencurian dengan kekerasan – jika barang diambil paksa tanpa seijin debitor.
Baca Juga:
Kasus Fiduasia, Ibu Menyusui Jadi Terdakwa Minta Maaf ke Adira Mohon Tak Lagi Dibui
Pasal 406 KUHP – Pasal 521 KUHP Nasional : Perusakan barang – jika terjadi kerusakan saat penarikan barang.
Inilah yang menjadi titik singgungnya. Ketika kreditor melakukan penarikan tanpa ada pengakuan wanprestasi dari debitor, apalagi disertai ancaman atau kekerasan maka perbuatan tersebut bergeser dari ranah perdata ke pidana.
Dari Lex Certa ke Lex Humana