WAHANANEWS.CO, Jakata - Negara hukum runtuh bukan selalu karena kudeta senjata. Ia sering mati perlahan—ketika putusan Mahkamah Konstitusi dilanggar secara terang-terangan, tetapi para wakil rakyat justru berdiri paling depan untuk membelanya. Itulah yang sedang kita saksikan dalam polemik Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 lahir untuk mengoreksi penyimpangan konstitusional: praktik penempatan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian yang merusak kepastian hukum, mengaburkan rantai komando, dan mencederai prinsip supremasi sipil sebagaimana dijamin oleh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Baca Juga:
Kritik Suharyanto soal Bencana Sumatera, Saldi Isra Desak Evaluasi Penempatan TNI di Kementerian
Putusan ini bersifat final, mengikat, dan berlaku untuk semua (erga omnes). Tidak ada ruang tafsir ulang. Tidak ada mandat delegasi. Tidak ada izin untuk “kreativitas administratif”.
Namun apa yang terjadi?
Alih-alih tunduk, Kapolri menerbitkan Perkap, Alih-alih mengoreksi, DPR bertepuk tangan.
Baca Juga:
Di Hadapan Hakim MK, Firdaus Oiwobo: Banyak Advokat yang Disumpah Pakai Ijazah Ilegal
DPR dan Kekeliruan Fatal Membaca Konstitusi
1. Rudianto Lallo (Komisi III DPR RI) menyebut Perkap No. 10/2025 sebagai penerjemahan substansi Putusan MK. Pernyataan ini keliru secara mendasar.
Putusan MK bukan naskah kebijakan yang boleh diterjemahkan ulang oleh pejabat administratif. Putusan MK adalah norma konstitusional langsung. Ketika MK menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945, maka tugas semua lembaga negara adalah berhenti, bukan menyusun norma baru dengan kemasan berbeda.