Oleh KHALISAH KHALID
Baca Juga:
Pesta Raya Flobamoratas, Ajang Festival Mendekatkan Isu Perubahan Iklim kepada Masyarakat Luas
PADA saat COP 26 Glasgow tengah berlangsung, bencana iklim terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Bencana iklim yang semakin sering terjadi di berbagai penjuru dunia menjadi fenomena yang menggambarkan krisis iklim semakin nyata, dan sudah sampai pada situasi darurat iklim (climate emergrency).
Baca Juga:
Hadapi Krisis Iklim Global di NTT, VCA Gelar Dialog Publik Bertajuk "Suara Bae Dari Timur"
Laporan terakhir dari PBB menegaskan bahwa pemanasan global semakin tidak terkendali.
Ke depan, kita akan dihadapkan dengan terus meningkatnya pengungsi akibat krisis iklim.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah melaporkan jika emisi global terus meningkat dengan kecepatan seperti saat ini, maka pemanasan global akan melewati batas 1,5 derajat celsius pada sekitar tahun 2040.
Naiknya suhu hingga 1,5 derajat celsius akan mengakibatkan pemusnahan yang tidak dapat dihindari terutama bagi pulau-pulau kecil, dan memperkecil kesempatan untuk melakukan adaptasi.
Dampaknya tentu akan semakin buruk bagi bumi dan umat manusia.
Kelangkaan air, kegagalan panen, dan kesehatan menjadi dampak turunannya yang akan dialami oleh masyarakat, khususnya kelompok marjinal.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menggambarkan bahwa ancaman pemanasan global sebagai ”kode” merah untuk kemanusiaan.
Inilah salah satu yang mendasari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) pada tanggal 5 Oktober 2021 akhirnya menyetujui dan mengakui resolusi bahwa hak atas lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia.
Krisis global saat ini telah membahayakan hak asasi manusia di muka bumi ini.
Bahwa tidak mungkin ada hak asasi manusia di planet Bumi yang mati, dan tidak ada planet lain untuk kehidupan.
Hal inilah yang kemudian mendorong organisasi masyarakat sipil (CSO) mengajukan seruan global kepada Dewan HAM PBB untuk segera mengakui hak atas lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan, dan pada akhirnya resolusi tersebut telah disetujui.
Resolusi ini merupakan langkah yang signifikan untuk mengatasi krisis lingkungan hidup global yang semakin mengancam kehidupan.
Krisis iklim memicu upaya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk secara serius melihat berbagai dampak hak asasi manusia dari ancaman penghancuran lingkungan hidup dan krisis iklim yang menjadi tantangan dunia hari ini yang harus segera ditangani dengan komitmen kuat dari para pemimpin negara-negara.
Pemimpin dunia harusnya berdiri pada kemanusiaan.
Berdiri pada kelompok masyarakat yang telah dan akan menjadi korban dari pembangunan dan krisis iklim.
Masyarakat adat, petani, nelayan, miskin kota, perempuan, kelompok disabilitas, dan marjinal lainnya.
Ujian Komitmen
Ada begitu banyak harapan digantungkan kepada para pemimpin dunia.
Banyak pihak telah menyampaikan suara kerasnya bahwa COP 26 ini menjadi momentum krusial, genting, dan kesempatan terakhir bagi para pemimpin negara, karena tidak ada lagi kemewahan untuk terus menerus mengulur waktu.
Paus Fransiskus telah menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk mendengarkan suara bumi dan orang-orang miskin.
Kaum miskin akan mengalami bencana lebih besar dan berlipat ganda karena krisis iklim dan karena kemiskinannya.
Namun, tidak sedikit juga yang merasa bahwa COP 26 ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keselamatan bumi dan semua makhluk di dalamnya.
Terutama generasi muda yang menilai para pemimpin negara telah gagal mengendalikan krisis iklim, dan masa depan mereka dihancurkan.
Kaum muda secara lantang juga menyatakan bahwa KTT Perubahan Iklim yang berlangsung dari tahun ke tahun hanyalah negosiasi elite politik dunia dan kekuatan kapitalisme yang menjelma dalam monster oligarkh yang tiada henti mengeruk sumber daya alam.
Komitmen pemimpin negara tak lebih hanya omong kosong dan bla bla bla…
Alih-alih bertanggung jawab dengan mengoreksi paradigma pembangunan global, para pemimpin dunia justru menggunakan krisis iklim ini untuk melanggengkan kepentingan ekonomi dan politik.
Mereka terus memberikan jalan pada investasi dan polutters yang selama ini menjadi mesin penggerak sistem kapitalisme yang rakus dan destruktif.
Ini dapat kita lihat dari proses negosiasi yang tengah berlangsung dari setiap putaran COP hingga COP 26 ini, yakni mekanisme pasar dalam pembiayaan mitigasi perubahan iklim menjadi dominan dalam pembahasan dan negosiasi artikel 6 Paris Agreement.
Karena itulah, posisi Pemerintah Indonesia terhadap mekanisme pasar untuk pembiayaan berbeda sekali sikapnya dengan Bolivia yang secara tegas menolak untuk membuka peluang bagi mekanisme pasar dan mendorong adanya mekanisme alternatif di luar dari mekanisme pasar.
Carbon offset merupakan peluang baru bagi kapitalisme untuk semakin mengakumulasi profit, green capitalism di mana terjadi komodifikasi dan finansialisasi terhadap sumber daya alam.
Solusi iklim yang justru akan melanggengkan praktik perampasan ruang hidup masyarakat akan dirampas dengan atas nama pengendalian perubahan iklim.
Praktik green grabbing akan massif, saat hutan, wilayah adat, ruang hidup masyarakat lokal akan dirampas dengan atas nama penanganan perubahan iklim.
Teringat tulisan lama Maria Hartiningsih dalam Jejak Samar Chico Mendes (Kompas, 2009) yang mengingatkan bahwa banyak fungsi ekologis hutan yang tidak dapat dipasarkan, pasar tidak dapat menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati.
Ya, pasar karbon juga tidak akan pernah sanggup menghitung nilai kebudayaan yang terikat antara masyarakat adat dan seluruh pengalaman dan pengetahuan perempuan terhadap alamnya. Pasar karbon tidak akan menekan deforestasi.
Para pemimpin negara, termasuk Indonesia, akan kembali diuji komitmennya.
Jika sebelumnya isu hutan menjadi topik panas dalam sejarah berlangsungnya KTT Perubahan iklim, kini ditambah dengan isu energi.
Desakan menghentikan deforestasi sama besarnya dengan tekanan untuk menghentikan bahan bakar fosil.
Selain deklarasi menghentikan deforestasi, juga ada komitmen negara-negara untuk menghentikan pembangunan PLTU batubara baru pada tahun 2030 bagi negara maju, dan selambatnya 2040 bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Apakah semua komitmen para pemimpin negara pada dua sektor yang menyumbang emisi karbon global menjadi pertanda harapan baik?
Organisasi masyarakat sipil telah mengingatkan bahwa komitmen tersebut belum cukup, terlebih dalam laporan yang dilansir Global Carbon Projects terbaru menyebutkan bahwa emisi karbon tahun ini 36,4 gigaton setara karbon dioksida, meningkat 4,9 persen dari tahun sebelumnya.
Semua komitmen ini akan diuji pada kebijakan dalam negeri di masing-masing negara, termasuk Indonesia.
Tanpa peta jalan yang jelas dan terukur dalam kebijakan energi untuk memastikan transisi energi fosil, khususnya batubara menuju energi yang bersih, terbarukan, dan berkeadilan, dan langkah pertama bisa dimulai dengan menutup PLTU batubara.
Namun, yang tak kalah penting adalah koreksi mendasar dan mengubah paradigma ekonomi global yang terbukti telah gagal, menuju ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan, demi pengendalian krisis iklim dan demi kemanusiaan. (Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan”. Klik untuk baca: Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan - Kompas.id.