Keterlambatan pelaksanaan proyek ini telah mengakibatkan serangkaian perubahan kontrak atau addendum yang kini mencapai lima kali, dengan batas waktu penyelesaian terakhir ditetapkan pada 31 Desember 2025. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah proyek ini sebenarnya tergolong sebagai proyek tahun jamak (multi years project), mengingat pelaksanaannya telah melampaui batas tahun anggaran 2024. Keterlambatan ini juga berpotensi disertai penambahan biaya dari APBD 2025, sehingga pertanyaan mengenai status RDF Rorotan sebagai proyek multi years atau bukan menjadi semakin relevan untuk dikaji secara mendalam.
Keanehan lain dari proyek RDF Plant Rorotan mungkin semakin masuk akal ketika diketahui bahwa proyek yang telah dibayar lunas justru kembali mengajukan tambahan anggaran melalui Belanja Tak Terduga (BTT) Tahun Anggaran 2025. Tambahan dana tersebut diajukan untuk pengadaan sistem Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP) beserta sistem pendukungnya, seperti struktur, mekanikal, elektrikal, instrumentasi, dan Water Mist System. Sangat janggal apabila proyek yang sudah dibayar penuh pada tahun sebelumnya, namun belum selesai, masih mengajukan tambahan anggaran di tahun berikutnya.
Baca Juga:
Pemerintah Susun Langkah Konkret Atasi Sampah, Prabowo Pasang Target 2029
Selain itu, terdapat dugaan bahwa pelaksanaan pekerjaan selama masa perpanjangan kontrak belum didukung oleh jaminan pelaksanaan senilai Rp64.227.748.773,00. Ketiadaan jaminan ini menimbulkan risiko besar karena pekerjaan menjadi tidak terjamin dari segi waktu, biaya, dan mutu sebagaimana diatur dalam kontrak. Pelaksana proyek juga berpotensi terkena denda akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Oleh karena itu, keabsahan dan keberlanjutan jaminan senilai Rp64 miliar tersebut harus segera dipastikan.
Dalam konteks tersebut, publik wajar mempertanyakan apakah RDF Plant Rorotan benar-benar mampu memenuhi klaim teknisnya, yakni mampu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 874 ton bahan bakar RDF setiap hari. Masyarakat kini menantikan pembuktiannya—apakah fasilitas ini benar-benar dapat beroperasi secara resmi pada November 2025 sebagaimana dijanjikan oleh Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Jika mencermati keseluruhan permasalahan tersebut, terlihat adanya potensi pelanggaran terhadap sejumlah peraturan, seperti Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, serta Surat Edaran Sekretaris Daerah DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pembayaran Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran 2024.
Baca Juga:
Proyek RDF Bolmong Masuk Daftar Investasi Potensial Forum Bisnis Osaka 2025
Selain itu, pembatalan atau penghentian proyek strategis nasional PLTSa/ITF Sunter dan penggantian dengan proyek RDF Rorotan juga berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan hukum serta kebijakan nasional, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan dalam pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Melihat kompleksitas persoalan ini, pembentukan Pansus RDF di DPRD DKI Jakarta menjadi kebutuhan yang mendesak. Pansus tersebut diharapkan dapat mengungkap dan menelusuri seluruh aspek perencanaan, pelaksanaan, serta keuangan proyek RDF Plant Rorotan, termasuk potensi penyimpangan yang dapat merugikan keuangan daerah. Langkah ini penting untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, dan memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan APBD yang mencapai lebih dari Rp1,2 triliun.
Pembentukan Pansus RDF Plant Rorotan juga semakin relevan bila dikaitkan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan proyek PLTSa, seperti ITF Sunter Jakarta, sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN)—bukan proyek seperti RDF Rorotan. Apabila DPRD DKI Jakarta tidak menanggapi atau bahkan mengabaikan usulan pembentukan Pansus RDF tersebut, publik tentu akan bertanya-tanya. Sikap diam DPRD bisa saja dianggap sebagai keanehan baru dalam pengawasan pelaksanaan proyek besar di ibu kota.