SEIRING dengan semakin dekatnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Samosir, gerakan anti money politic (politik uang) semakin menggema. Saya, Singal Situmorang, S.H., seorang pengacara yang merupakan putra asli Kabupaten Samosir, tepatnya dari Desa Urat, Kecamatan Palipi, dan saat ini menetap di Jakarta, ingin hadir untuk mengkampanyekan gerakan ini.
Sejak tahun 2017, saya telah mendirikan Kantor Hukum Singal Situmorang, S.H., & Partners di Jakarta. Menyikapi perkembangan politik yang terjadi setiap pemilihan umum di Kabupaten Samosir, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Kepala Daerah, saya merasa prihatin dengan praktik politik uang yang terus berlanjut.
Baca Juga:
Pemkab Sigi Terapkan Jam Malam Desa Cegah Politik Uang Pilkada 2024
Dalam setiap kontestasi Pilkada, prioritas utama yang harus disiapkan oleh calon kontestan adalah uang. Uang ini digunakan untuk biaya pendaftaran ke partai politik. Bahkan, jika seorang calon memiliki uang yang cukup banyak, mereka dapat mendaftar ke seluruh partai yang ada di Samosir. Hal ini dilakukan agar mereka diterima sebagai calon oleh partai-partai tersebut.
Setelah partai pengusung mendaftarkan calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU), para kontestan mulai berlomba-lomba memberikan uang yang lebih banyak. Siapa yang dapat menyerahkan uang paling banyak, dialah yang akan didaftarkan oleh partai pengusung di KPU.
Inilah awal mula terjadinya praduga praktik politik uang dalam Pilkada. Kondisi ini sangat merugikan karena seorang calon yang memiliki kredibilitas, pendidikan, dan pengalaman yang mumpuni dalam tata kelola birokrasi pemerintahan maupun kepemimpinan di perusahaan tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kontestasi Pilkada jika tidak memiliki uang yang cukup.
Baca Juga:
Andi Harun Dikabarkan Dukung Isran Noor Jadi Gubernur Kaltim
Ket foto: Advokat Singal Situmorang, S.H, Ketua Kampus sekaligus Wakil Sekretaris Bidang Hukum DPP Relawan Martabat Prabowo Gibran juga Wakil Sekretaris Bidang Hukum Pengurus Pusat BPPH Pemuda Pancasila. [WahanaNews.co/Singal]
Setelah KPU menetapkan calon dari setiap partai, dilakukan verifikasi faktual terhadap masing-masing calon. Namun, jarang sekali terjadi seorang calon tidak lolos verifikasi oleh KPU.
Selanjutnya, para calon diberikan kesempatan untuk berkampanye, baik melalui partai pengusung maupun secara personal. Dalam pelaksanaannya, calon Bupati/Wakil Bupati akan mengeluarkan banyak uang untuk sosialisasi kepada masyarakat.
Pada saat inilah para calon diduga mulai memberikan janji-janji politik dan bahkan berani memberikan sejumlah uang kepada masyarakat, yang dikenal dengan istilah TTR (Togu-Togu Ro).
Hingga pada saat pelaksanaan Pilkada, para pasangan calon Bupati/Wakil Bupati melalui tim sukses diduga memberikan uang kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat fantastis.
Seperti yang terjadi pada Pilkada Samosir sebelumnya, dari berbagai sumber informasi, pasangan calon Bupati/Wakil Bupati berani mengeluarkan uang sebesar satu juta rupiah untuk satu orang pemilih (satu suara).
Adanya dugaan Praktik politik uang ini berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Samosir.
Melihat situasi ini, beberapa putra asli Samosir baik yang berada di perantauan maupun yang berdomisili di Samosir berniat membuat sebuah komunitas bernama KAMPUS (Komunitas Anti Money Politic untuk Samosir).
Kehadiran KAMPUS diharapkan dapat memberantas praktik politik uang pada kontestasi Pilkada Samosir yang akan datang dan setiap pelaksanaan Pilkada berikutnya di Kabupaten Samosir.
KAMPUS juga diharapkan mendapatkan dukungan dari pemerintah dan masyarakat Samosir yang anti politik uang. Politik uang telah merusak tatanan moral dan bahkan berpengaruh terhadap keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat Samosir perlu kembali kepada tatanan budaya yang memiliki harkat dan martabat.
Definisi Politik Uang
Setiap bentuk korupsi dalam pemilu selalu diidentikan dengan politik uang. Hal tersebut menurut Daniel Bumke karena selama ini tidak ada definisi yang jelas. Politik uang digunakan untuk menerangkan semua jenis praktek dan perilaku korupsi dalam pemilu, mulai dari korupsi politik hingga klientelisme dan dari memberi suara (vote buying) hingga kecurangan.
Dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun tidak secara jelas menyebutkan istilah “politik uang”. Di dalam undang-undang tersebut, menggunakan istilah “pemberian uang dan materi lainnya” bagi setiap praktik jual beli suara dalam pelaksanaan Pemilu.
1. Vote Buying
Vote buying merupakan perilaku korupsi yang biasanya berbentuk pemberian atau hadiah terutama dalam bentuk uang, barang berharga, atau janji dengan tujuan mempengaruhi perilaku penerima. Sebagai perilaku korup, vote buying bisa didefinisikan sebagai bentuk persuasi dengan memberikan keuntungan finansial yang dilakukan oleh satu orang kepada orang lain untuk mempengaruhi pilihan orang tersebut.
2. Vote Broker
Proses barter uang atau barang dengan pemilih biasanya tidak melibatkan kandidat secara langsung. Selain mudah diketahui oleh lawan politik, resikonya sangat tinggi. Karena itu, membentuk tim yang berperan dalam menentukan strategi pemenangan termasuk di dalamnya melakukan praktik politik uang sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan persaingan.
3. Sasaran Politik Uang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Valerina Busco memperlihatkan bahwa kelompok masyarakat dengan taraf ekonomi menengah bawah merupakan sasaran utama politik uang. Hasil yang sama diperlihatkan oleh riset yang dilakukan oleh Pedro C. Vicente dan Leonard Wantchekon di Afrika. Sasaran utama politik uang adalah kelompok pemilih dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah.
Dampak Politik Uang
Praktik politik uang akan menyebabkan dampak negatif jangka panjang, yang jika terus dibiarkan terjadi dapat merugikan banyak pihak. Tidak hanya merugikan masyarakat, bahkan dapat meluas hingga merugikan negara karena kemungkinan munculnya berbagai permasalahan baru akibat praktik politik uang.
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap beberapa literatur, politik uang menghasilkan tiga dampak, yakni satu dampak langsung dan dua dampak jangka panjang sebagai berikut:
1. Pidana Penjara dan Denda bagi Pelaku
Pidana penjara dan denda merupakan dampak langsung yang akan terjadi ketika praktik politik uang dilakukan. Dalam Pemilu dan Pemilihan, praktik politik uang merupakan salah satu jenis pelanggaran yang ancamannya berupa pidana penjara dan denda. Hal itu disebutkan secara jelas dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilu dan UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya yang mengatur tentang Pemilihan.
Ancaman pidana yang diberlakukan dalam Pemilu bagi pelaku politik uang, disebutkan pada Pasal 523 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Dimana pidana paling rendah adalah penjara dua tahun dan denda Rp24.000.000,00 serta paling tinggi adalah penjara empat tahun dan denda Rp48.000.000,00. Ancaman pidana Pemilu ini menyasar pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pada tahapan kampanye dan masa tenang. Sedangkan pada hari pemungutan suara berlaku bagi setiap orang.
Sementara dalam Pemilihan, ancaman pidana yang diberlakukan bagi pelaku politik uang disebutkan pada Pasal 187A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya, dimana pelaku diancam pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Sementara bagi penerima, diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp300.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.
2. Menghasilkan Manajemen Pemerintahan yang Korup
Praktik politik uang berpotensi menghasilkan kerusakan pada manajemen pemerintahan. Karena, pengisian jabatan politis dalam pemerintahan yang lahir dari proses korupsi politik, secara langsung akan berdampak pada pemerintahan yang korup pula.
Hal ini disebut investive corruption di mana politisi yang terpilih lebih mengutamakan kepentingan para donator dibandingkan rakyat dengan memberi banyak keistimewaan.
3. Merusak Paradigma Bangsa
Dalam menghadapi praktik politik uang, masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok yang memiliki sikap yang berbeda. Pertama, kelompok yang bersikap cenderung menerima terhadap politik uang. Kedua, kelompok yang bersikap menolak segala bentuk praktik politik uang. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya tingkat pengetahuan dan kondisi ekonomi.
Tingkat pengetahuan ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengakses sumber pengetahuan baik melalui pendidikan ataupun informasi dari media dan internet. Sedangkan kondisi ekonomi, lebih kepada kebutuhan akan uang atau materi lainnya untuk bertahan hidup.
[Redaktur: Andri Frestana]