Mekanisme ini lebih efisien karena para konsumen dapat menunjuk satu pihak untuk mewakili mereka di pengadilan. Hal ini dapat mengurangi formalitas dan biaya penunjukan perwakilan. Selain itu, tindakan kolektif konsumen seperti ini juga dapat memperkuat posisi konsumen terhadap pelaku usaha.
Namun, dalam menjalankan mekanisme class action, konsumen harus memastikan bahwa perwakilan yang ditunjuk benar-benar mengalami kerugian secara langsung dari pelaku usaha yang sama dalam sengketa yang diajukan, serta memiliki kepentingan yang sama dengan konsumen. Hal ini dibuktikan dengan dokumen transaksi, misalnya perjanjian atau bukti transaksi.
Baca Juga:
Istilah Hilirisasi Digital Gibran Picu Kebingunan Pengamat
Konsumen mungkin saja tidak menyadari persyaratan ini, sehingga akhirnya mereka melakukan kesalahan ketika menunjuk pengacara atau lembaga untuk mewakili mereka.
Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen kedua yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen adalah penyelesaian sengketa alternatif melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase oleh BPSK, sesuai kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagaimana halnya dengan litigasi, mekanisme non-litigasi ini juga dapat menimbulkan beberapa persoalan.
Sebagai permulaan, konsumen dan pelaku usaha biasanya sulit menyepakati penyelesaian sengketa melalui BPSK. Bahkan ketika persetujuan tersebut telah tercapai, UU Perlindungan Konsumen menetapkan ketentuan yang membingungkan tentang kekuatan mengikat dari keputusan BPSK.
Baca Juga:
Menko Airlangga: Generasi Muda Harus Mampu Merespons Pesatnya Pertumbuhan Teknologi-Digital
UU Perlindungan Konsumen menyatakan keputusan BPSK bersifat final dan mengikat. Namun, masih memungkinkan para pihak yang bersengketa untuk menggugat keputusan tersebut ke pengadilan negeri dan MA setelahnya.
Faktanya, hampir 80 persen keputusan BPSK dibatalkan oleh pengadilan, dengan pertimbangan bahwa BPSK tidak berwenang untuk memutuskan sengketa yang diajukan.
Pembatalan putusan BPSK sebagian besar terjadi untuk sengketa di sektor jasa keuangan, karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menentukan daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa.