Hal ini menarik untuk dicermati, karena sektor jasa keuangan juga berkontribusi terhadap tingginya angka sengketa konsumen di Indonesia. Terutama, di era digital ini.
Sementara itu, terkait e-commerce, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP 80 Tahun 2019) telah mengatur bahwa sengketa terkait e-commerce harus diajukan ke BPSK atau badan pengadilan lain di domisili konsumen.
Baca Juga:
Istilah Hilirisasi Digital Gibran Picu Kebingunan Pengamat
Meskipun hal ini memberikan kejelasan lebih baik untuk e-commerce, UU Perlindungan Konsumen belum memberikan spesifikasi atau batasan yang jelas tentang yurisdiksi BPSK. BPSK diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa konsumen apa pun. Hal ini dapat memperpanjang kekisruhan yang sedang berlangsung di sektor perlindungan konsumen pada era digital.
Pendekatan Online atas Penyelesaian Sengketa
Baca Juga:
Menko Airlangga: Generasi Muda Harus Mampu Merespons Pesatnya Pertumbuhan Teknologi-Digital
Penting untuk ditegaskan kembali bahwa sengketa di era digital, termasuk di bidang e-commerce, membutuhkan proses penyelesaian yang singkat, sederhana, terjangkau dan dapat diakses oleh semua kalangan konsumen.
Sedangkan persidangan fisik, yang masih banyak digunakan dalam proses penyelesaian sengketa saat ini, tidak memiliki fleksibilitas dan aksesibilitas dibanding persidangan online.
Dalam persidangan online, tanpa perlu menghadiri persidangan sengketa secara fisik, konsumen dapat memilih di mana mereka hadir. Hal ini dapat mengurangi biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa mereka.