Selain itu, kerumitan dalam mengajukan sengketa dapat berkurang secara signifikan, karena pemohon tidak perlu lagi mengantri secara fisik di pengadilan.
MA sebenarnya telah menerapkan sistem e-court yang dapat diakses via laman ecourt.mahkamahagung.go.id/. Fasilitas ini memungkinkan pengajuan, pembayaran dan pemanggilan para pihak yang bersengketa secara elektronik.
Baca Juga:
Istilah Hilirisasi Digital Gibran Picu Kebingunan Pengamat
Inovasi ini cukup berhasil dalam mendorong berbagai pihak untuk menyelesaikan kasus di pengadilan. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kasus yang didaftarkan lewat e-court, dari 47.244 kasus pada tahun 2019 menjadi 186.987 kasus pada tahun 2020.
Angka tersebut menunjukkan bahwa aksesibilitas yang diberikan melalui sarana online dapat mendorong konsumen untuk memperoleh ganti rugi dalam penyelesaian sengketa mereka.
Namun, persiapan harus dilakukan dengan baik oleh pengadilan dalam menangani lonjakan jumlah kasus yang cepat, yang dapat menyebabkan backlog kasus yang ditangani dan mengganggu sarana perlindungan konsumen.
Baca Juga:
Menko Airlangga: Generasi Muda Harus Mampu Merespons Pesatnya Pertumbuhan Teknologi-Digital
Terkait e-commerce, PP 80 Tahun 2019 menyebutkan bahwa sengketa dapat diselesaikan secara elektronik, yang sekaligus mengakui mekanisme penyelesaian sengketa secara daring.
Sementara itu, meski penyelesaian melalui litigasi dapat menggunakan ketentuan mengenai sistem e-court, belum ada penjelasan mengenai hal ini untuk mekanisme non-litigasi.
BPSK atau lembaga alternatif lain yang juga menangani penyelesaian sengketa pun belum menggunakan mekanisme online tersebut dalam menangani sengketa. Konsumen tetap wajib melakukan konsiliasi, mediasi, atau arbitrase melalui cara konvensional.