Proyek ini tidak bersifat layanan publik (public service obligation) seperti KRL atau subsidi bahan bakar yang bisa digunakan misalnya oleh rakyat miskin, yang menurut keterangan Bank Dunia bahwa 68,3% Penduduk RI termasuk kategori miskin, yakni setara 194,7 juta jiwa, artinya rakyat miskin tidak bisa/tidak mampu beli tiket kereta whoosh, maka publik menganggap tidak adil jika dana APBN dipakai untuk menutup utang atau pembengkakan biaya kereta whoosh. Beban keuangan proyek seharusnya ditanggung oleh investor, bukan rakyat.
Jika APBN digunakan untuk membayar utang maka dana yang seharusnya bisa digunakan untuk subsidi pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah, dll akan dialihkan membayar hutang kereta api cepat. Melihat Perpres 49/2024 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, dari sekian banyak sektor kehidupan rakyat di bidang ekonomi, hanya diprioritaskan 11 sektor, di antaranya sektor jasa transportasi, dan sektor lainnya adalah obat dan makanan, listrik dan gas rumah tangga; keuangan; jasa telekomunikasi; jasa pariwisata dan ekonomi kreatif; sektor perumahan, air, dan sanitasi; barang elektronik, telematika, dan kendaraan bermotor; sektor perdagangan melalui sistem elektronik; serta sektor jasa logistik.
Baca Juga:
Utang Whoosh Sentuh Rp 116 Triliun, Pemerintah Siapkan Jalan Keluar Tanpa Sentuh APBN
Apabila APBN digunakan untuk membayar utang kereta api cepat, tentu sektor² lain tidak dapat berjalan karena anggarannya tersedot. Selain itu beban fiskal meningkat dan bisa berujung pada kenaikan pajak atau pengurangan subsidi di sektor lain. Di sisi lain Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan ancaman kedaulatan bangsa akibat utang kereta cepat Whoosh. Jika gagal bayar utang ke China, ancaman pencaplokan wilayah kedaulatan, misalnya Laut Natuna Utara.
Mahfud MD juga mengungkap dugaan mark up dalam proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung, dengan biaya per kilometer jauh lebih tinggi dari estimasi Cina. "Dugaan mark upnya naik tiga kali lipat," ungkapnya dalam akun YouTube Mahfud MD Official, dikutip Bisnis.com Kamis (16/10/2025). Sementara, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui kondisi keuangan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh sudah tidak baik sejak awal ditangani. Ia bahkan menyebutnya barang busuk. (Herald.id, 17 Oktober 2025, 15:22)
Penolakan penggunaan APBN untuk membayar utang kereta cepat sangat terkait dengan konsumen sebagai pembayar pajak. Konsumen punya hak untuk menolak karena mereka adalah pihak yang mendanai APBN. Selain itu proyek tersebut awalnya tidak dijanjikan menggunakan uang rakyat sehingga ada kekhawatiran beban fiskal akan dialihkan kembali ke masyarakat sebagai konsumen pembayar pajak.
Baca Juga:
Soal Proyek KA Cepat Whoosh Lanjut ke Surabaya, Ini Kata Bos Danantara
Bahkan meski klaim pengambilalihan Pulau Natuna belum terbukti, tidak berarti tidak ada risiko bilateral atau diplomatik dalam proyek utang semacam ini. Risiko semacam “utang bumerang”, “conditionalities”, atau “utang pertukaran aset”, dalam konteks utang luar negeri dapat saja hal ini terjadi.
Untuk itu terhadap proyek kereta whoosh ini sudah saatnya dilakukan audit investigatif menyeluruh oleh BPK dan KPK. Penelusuran aliran dana dan kemungkinan korupsi/markup. Menetapkan pertanggungjawaban hukum secara perdata, pidana, maupun administratif terhadap aktor-aktor utama pengambil keputusan. Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh Proyek Strategis Nasional yang rawan pemborosan dan konflik kepentingan.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada proyek-proyek yang merugikan rakyat. Keputusan yang terbukti keliru dan membahayakan kepentingan publik wajib dipertanggungjawabkan secara hukum, apa pun status dan kekuasaan yang dimiliki pelakunya. Rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan, bukan hanya dalam pengadilan, tetapi dalam setiap kebijakan publik yang dijalankan.