Sebenarnya sejak awal berbagai pihak telah memperingatkan bahwa proyek KCJB berisiko tinggi. Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, secara tegas menyatakan proyek ini tidak layak secara ekonomi dan transportasi, dengan jarak Jakarta-Bandung yang terlalu pendek untuk kereta cepat. Jonan kemudian digantikan.
Kritik juga datang dari para pakar independen seperti ekonom Faisal Basri, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, dan mantan pejabat BUMN Said Didu, yang menyebut bahwa proyek ini tidak hanya sarat konflik kepentingan, tetapi juga menunjukkan gejala kuat dari tata kelola yang buruk dan pemborosan negara.
Baca Juga:
Utang Whoosh Sentuh Rp 116 Triliun, Pemerintah Siapkan Jalan Keluar Tanpa Sentuh APBN
Proyek kereta api cepat whoosh ini termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), artinya proyek tersebut membutuhkan restu Presiden dan didorong melalui berbagai instrumen negara. Kini, ketika proyek tersebut menimbulkan risiko fiskal dan membebani keuangan publik, pertanggungjawaban hukum harus ditegakkan.
Dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada satu pun entitas atau individu yang berada di atas hukum. Setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap negara atau masyarakat, baik melalui kesengajaan maupun kelalaian, wajib dimintai pertanggungjawaban.
Setidaknya ada tiga dasar hukum penting dapat digunakan dalam konteks ini, yakni Hukum Perdata (Pasal 1365 KUH Perdata), Hukum Pidana (KUHPidana, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), dan Hukum Administrasi Negara (UU PTUN, UU Administrasi Pemerintahan, UU Penyelenggara Negara, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman).
Baca Juga:
Soal Proyek KA Cepat Whoosh Lanjut ke Surabaya, Ini Kata Bos Danantara
Sudah terlalu sering rakyat diberi dalih bahwa “niat pemerintah baik”, atau “proyek ini demi kemajuan bangsa”. Padahal, niat baik tidak menghapus tanggung jawab hukum jika dalam praktiknya terjadi penyimpangan, kerugian negara, atau pengabaian prinsip kehati-hatian. Justru yang lebih berbahaya adalah niat baik yang digunakan untuk menutupi ketidakcakapan, kelalaian, atau bahkan manipulasi kekuasaan. Negara bukanlah milik kelompok kecil pengambil keputusan. Jika proyek sebesar ini dilakukan dengan mengabaikan peringatan para ahli, tanpa transparansi, dan kini justru membebani rakyat.
Pertanyaannya, apakah penolakan pembayaran utang kereta api cepat menggunakan APBN ada kaitannya dengan konsumen sebagai pembayar pajak ?
APBN adalah anggaran negara yang sumber utamanya berasal dari Pajak penghasilan (PPh), Pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea cukai, dan lain-lain. Artinya, setiap konsumen/publik, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi penyumbang dana negara, yang kemudian dialokasikan melalui APBN. Pemerintah awalnya menyatakan bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) tidak akan menggunakan APBN. Dibiayai oleh konsorsium BUMN Indonesia dan Cina (PT KCIC), sehingga risikonya ditanggung investor.