Namun dalam praktik uang muka untuk kredit sepeda motor tersebut bisa dicicil antara 3-6 bulan.
Jadi akhirnya ketentuan bahwa uang muka kredit sepeda motor sebesar 30 persen di lapangan tidak efektif. Masyarakat konsumen tetap bisa memboyong sepeda motor baru (dengan cara leasing) nyaris tanpa uang muka.
Baca Juga:
Kasus Pengroyokan ‘Mata Elang’ di Kalibata, Gubernur Pramono Angkat Suara
Ketiga, promosi yang membius masyarakat terkait sepeda motor. Industri motor mempromosikan produk sepeda motor sangat jor-joran, menampilkan keunggulan, misalnya soal kecepatan.
Padahal sepeda motor adalah produk yang harus dikendalikan, karena menyangkut safety. Promosi tersebut akibatnya menjerat kelompok konsumen dan rumah tangga, yang sejatinya tak mampu mengredit sepeda motor. Dampaknya konsumen mengalami gagal bayar (default).
Saat ini lebih dari 1,7 juta konsumen mengalami gagal bayar terhadap leasing sepeda motornya. Fenomena ini lebih dipicu karena persoalan ekonomi dari konsumen. Konsumen mengalami kredit macet.
Baca Juga:
Polisi Tetapkan 6 Anggota Polri Tersangka Pengeroyokan 2 'Mata Elang' di Kalibata Hingga Tewas
Inilah yang menjadi persoalan krusial sengketa perdata antara konsumen dengan perusahaan leasing dan kemudian melibatkan pihak ketiga, yakni juru tagih alias debt collector.
Keempat, penjualan sepeda motor yang tanpa kendali, hanya mengusung aspek ekonomi jangka pendek dan industri sepeda motor. Pengendalian dengan kebijakan uang muka 30 persen terbukti tidak efektif, karena banyak diakali oleh perusahaan leasing.
Harus dengan cara lain yang lebih kuat, misalnya membeli sepeda motor harus cash (seperti di Iran), atau dengan asuransi keselamatan yang tinggi seperti di negara negara Eropa.