DI penghujung 2025, selain bencana ekologis yang menimpa Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatra Barat; meletus juga sebuah kerusuhan di area Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/12/2025) lalu.
Peristiwa kerusuhan di Kalibata sejatinya bukan murni kriminalitas, tetapi persoalan sengketa perlindungan konsumen, khususnya di bidang jasa keuangan (financial services). Artinya premis dasarnya adalah persoalan perdata, bukan persoalan pidana.
Baca Juga:
Kasus Pengroyokan ‘Mata Elang’ di Kalibata, Gubernur Pramono Angkat Suara
Oleh sebab itu permasalahan ini tak bisa dianggap remeh, bukan kasus mikro belaka, tetapi kasus sistemik; yang jika tidak dikendalikan/dimitigasi, kasusnya bisa lebih eskalatif, sebab sejatinya kerusuhan di Kalibata adalah fenomena gunung es, yang bisa meletus kapan saja, dan di mana saja.
Lantas apa sejatinya musabab hulu munculnya kerusuhan di Kalibata, yang melibatkan debt collector "matel" (mata elang)? Ada beberapa musabab, berikut konfigurasinya.
Pertama, lemahnya pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Muara dari itu semua adalah masih dominannya permasalahan di sektor jasa keuangan, seperti perbankan, asuransi, dan leasing, khususnya leasing sepeda motor.
Baca Juga:
Polisi Tetapkan 6 Anggota Polri Tersangka Pengeroyokan 2 'Mata Elang' di Kalibata Hingga Tewas
OJK sebagai lembaga pengawas keuangan belum mampu mewujudkan kiprah lembaga keuangan agar lebih perform dalam pengawasan, sehingga menekan/meminimalisir jumlah sengketa perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
Sejak OJK berdiri sampai sekarang, pengaduan konsumen di sektor jasa keuangan masih paling dominan (data YLKI).
Kedua, inkonsistensi dalam menegakkan aturan dan kebijakan. Terkait pengaturan leasing sepeda motor, syaratnya adalah uang muka sebesar 30 persen dari total harga sepeda motor.
Namun dalam praktik uang muka untuk kredit sepeda motor tersebut bisa dicicil antara 3-6 bulan.
Jadi akhirnya ketentuan bahwa uang muka kredit sepeda motor sebesar 30 persen di lapangan tidak efektif. Masyarakat konsumen tetap bisa memboyong sepeda motor baru (dengan cara leasing) nyaris tanpa uang muka.
Ketiga, promosi yang membius masyarakat terkait sepeda motor. Industri motor mempromosikan produk sepeda motor sangat jor-joran, menampilkan keunggulan, misalnya soal kecepatan.
Padahal sepeda motor adalah produk yang harus dikendalikan, karena menyangkut safety. Promosi tersebut akibatnya menjerat kelompok konsumen dan rumah tangga, yang sejatinya tak mampu mengredit sepeda motor. Dampaknya konsumen mengalami gagal bayar (default).
Saat ini lebih dari 1,7 juta konsumen mengalami gagal bayar terhadap leasing sepeda motornya. Fenomena ini lebih dipicu karena persoalan ekonomi dari konsumen. Konsumen mengalami kredit macet.
Inilah yang menjadi persoalan krusial sengketa perdata antara konsumen dengan perusahaan leasing dan kemudian melibatkan pihak ketiga, yakni juru tagih alias debt collector.
Keempat, penjualan sepeda motor yang tanpa kendali, hanya mengusung aspek ekonomi jangka pendek dan industri sepeda motor. Pengendalian dengan kebijakan uang muka 30 persen terbukti tidak efektif, karena banyak diakali oleh perusahaan leasing.
Harus dengan cara lain yang lebih kuat, misalnya membeli sepeda motor harus cash (seperti di Iran), atau dengan asuransi keselamatan yang tinggi seperti di negara negara Eropa.
Jadi, untuk memitigasi agar kasus kerusuhan di Kalibata tidak terulang lagi, maka harus ada konsistensi kebijakan terkait penjualan sepeda motor, dari hulu hingga hilir.
Baik yang berdimensi keamanan/keselamatan, dan atau dimensi ekonomi. Tindakan kekerasan dan kriminalitas yang dipicu oleh sengketa leasing sepeda motor sudah sangat sering terjadi, korbannya bisa dari kedua belah pihak.
Kerusuhan di Kalibata adalah klimaks dari persoalan yang selama ini terjadi, dan hal tersebut merupakan fenomena gunung es, yang berpotensi terjadi kembali di lokasi lain. [*]
Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI).