PERNYATAAN Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bahwa Tel Aviv ingin “melenyapkan” Ayatollah Ali Khamenei adalah suara keras yang keluar dari negara yang baru saja babak belur.
Ini bukan sekadar retorika kosong, tetapi simbol keputusasaan Zionis yang tengah kehilangan pijakan strategisnya di Timur Tengah.
Baca Juga:
Perang 12 Hari: Iran Naik Kelas, Malah Israel yang Lemas
Setelah 12 hari konflik udara yang menyedot cadangan devisa dan mengguncang pasar dalam negeri, Israel bukannya introspeksi, tapi malah kembali memainkan nada-nada ofensif.
Khamenei disebut sebagai target utama, dan ketika ditanya apakah perlu izin Amerika Serikat untuk melancarkan serangan itu, Katz dengan pongah menjawab, “Kami tidak memerlukan izin.”
Ini adalah bentuk klasik dari politik deterensi semu, yang memamerkan keberanian saat kekuatan melemah.
Baca Juga:
Israel Tutupi Kerusakan Parah Akibat Rudal Iran dengan Sensor Ketat Media
Namun seperti yang diketahui para analis geopolitik, retorika tanpa kalkulasi strategis yang realistis hanya akan mempercepat jatuhnya pamor negara, apalagi di kawasan seperti Timur Tengah yang nyaris tak pernah kehabisan api.
Iran Menang Secara Naratif dan Simbolik
Bagi Iran, perang singkat ini telah menjadi panggung kemenangan simbolik yang efektif.
Dalam pidatonya, Khamenei bukan hanya memproklamasikan kekalahan Israel, tetapi juga menegaskan kegagalan Amerika Serikat dalam mengubah jalannya konflik.
Ia menyebut 90 juta rakyat Iran bersatu, dan itu bukan klaim kosong, respon publik Iran terhadap agresi Israel memang menunjukkan konsolidasi domestik yang jarang terjadi di negara tersebut.
Dari sisi soft power, Republik Islam berhasil memosisikan diri sebagai aktor regional yang tangguh dan tidak mudah didikte.
Keberhasilan bertahan dari serangan simultan Israel-AS, serta keberanian menyasar infrastruktur vital Zionis, menjadikan Iran bukan hanya musuh, tapi ancaman strategis jangka panjang.
Israel: Menang di Ucapan, Tersungkur di Neraca
Sementara itu, Israel keluar dari konflik dengan beban finansial luar biasa.
Lebih dari Rp300 triliun ludes dalam dua pekan. Infrastruktur lumpuh, ribuan warga mengungsi, maskapai nasional berhenti beroperasi, hingga perdagangan berlian, salah satu andalan ekspor, porak poranda.
Sistem pertahanan yang selama ini jadi kebanggaan militer Israel justru menjadi beban anggaran harian hingga US$200 juta.
Kini, pemerintah mempertimbangkan memotong anggaran pendidikan dan layanan sosial, hanya agar pertahanan tetap berdiri. Bukan postur negara menang perang, ini adalah negara yang terkejut oleh realitas baru.
Dalam situasi inilah, ancaman terhadap Khamenei lebih pantas dibaca sebagai manuver politik domestik, ketimbang strategi geopolitik.
Netanyahu dan partainya sedang dikepung tekanan publik. 36 ribu warga mengajukan klaim kompensasi; itu suara protes yang tak bisa dibungkam dengan retorika “kita hampir menang”.
Amerika dan Ketegangan Dua Poros
Yang menarik, AS justru tampak seperti aktor kehilangan kontrol. Intervensi mereka, meski berhasil memaksakan gencatan senjata, datang terlambat dan tidak mengubah hasil akhir.
Aliansi strategis Israel–AS yang dulu kokoh kini mulai menunjukkan retakan.
Ketika Katz berkata "kami tak butuh izin AS", itu sekaligus sinyal bahwa hubungan keduanya tidak semulus retorika diplomatik.
Di sisi lain, blok perlawanan -- yang dimotori Iran dan disokong diam-diam oleh China dan Rusia -- kian percaya diri.
Dalam waktu hampir bersamaan, pertemuan segitiga Teheran–Beijing–Moskow berlangsung untuk membahas arsitektur keamanan baru pasca-konflik. Sebuah langkah yang tak bisa dianggap sepele oleh blok Barat.
Konflik ini mengajarkan satu hal: di Timur Tengah, kekuatan bukan soal siapa punya senjata lebih canggih, tapi siapa yang mampu menyusun narasi dan bertahan dalam krisis multidimensi, yang meliputi aspek militer, ekonomi, sosial, dan psikologis.
Jika Israel terus bermain api dalam kondisi rapuh, maka ancaman terhadap Khamenei bisa berbalik jadi bumerang.
Sebab di dunia politik global, nyali tanpa stabilitas hanya akan mengundang kekacauan lebih luas. [*]
*] Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co