ANGAN-ANGAN untuk berkendara secara swakemudi bukan lagi mimpi yang hanya bisa diwujudkan di masa depan.
Saat ini sudah banyak perusahaan berlomba-lomba menciptakan kendaraan swakemudi (autonomous vehicles/AV).
Baca Juga:
Tesla Terpuruk! Nilai Merek Anjlok, Kalah dari Toyota dan Mercedes
Sebut saja Tesla Inc, perusahaan mobil listrik swakemudi yang dipimpin oleh Elon Musk.
Ada juga Toyota Motor Corp dengan Pony.ai, Hyundai, BMW, dan beberapa pabrikan kendaraan lain yang ikut perlombaan.
Bahkan, Alphabet Inc, induk perusahaan Google, juga mendirikan perusahaan pengembang teknologi swakemudi Waymo.
Baca Juga:
Ternyata Elon Musk Bukan Pendiri, Begini Sejarah Tesla yang Sebenarnya
Saat ini revolusi otomotif berada pada titik yang cukup menjanjikan.
Revolusi besar setelah Henry Ford memproduksi mobil-mobilnya secara massal.
Apalagi jika kendaraan swakemudi dikombinasikan dengan teknologi mobil listrik, perpaduan yang apik.
Dalam laporan America’s workforce and the self-driving future, potensi ekonomi dari teknologi swakemudi diperkirakan akan menyumbang sekitar 800 miliar dollar AS per tahun, ketika telah sepenuhnya diimplementasikan.
Keuntungan didapatkan dari penghematan biaya terkait dengan pengurangan kecelakaan, efisiensi bahan bakar, dan akses transportasi yang lebih baik.
Selain aspek ekonomi, aspek penting lain pada kendaraan swakemudi adalah sensor.
Kendaraan swakemudi tidak akan berjalan ketika tidak memiliki sensor yang andal serta infrastruktur jalan yang baik.
Dengan menggunakan teknologi computer vision, sensor pada kendaraan swakemudi dapat mengenali lingkungan di sekitarnya.
“Computer Vision”
Menurut IBM, Computer Vision merupakan bidang dalam Kecerdasan Buatan (AI) yang memungkinkan komputer atau sistem mendapatkan suatu informasi visual.
Informasi yang diperoleh dari gambar, video, maupun input visual lain digunakan untuk pengambilan keputusan (decision making).
Jika AI memungkinkan komputer untuk “berpikir”, computer vision digunakan untuk melihat, mengamati, dan memahami obyek di luar.
Untuk memahami obyek di sekitar, kendaraan swakemudi umumnya menggunakan beberapa sensor untuk “melihat”.
Produsen otomotif saat ini, selain menggunakan GPS (Global Positioning System) sebagai alat navigasi, umumnya mereka juga mengombinasikan tiga jenis sensor di dalam kendaraan swakemudi, yaitu kamera, radar (radio detection and ranging), dan LiDAR (light detection and ranging).
Pertama, kamera berfungsi untuk “melihat” kondisi lingkungan sekitar.
Namun, sensor kamera saja, jauh dari sempurna.
Kondisi cuaca seperti hujan, kabut, dan lainnya dapat memengaruhi sensor, sehingga sulit untuk mendeteksi obyek secara jelas.
Kedua, radar digunakan untuk mengirimkan sinyal berupa gelombang radio untuk mendeteksi obyek, mengukur jarak, dan kecepatan dengan kendaraan lain.
Tidak seperti sensor kamera, radar biasanya tidak mengalami kesulitan untuk mendeteksi obyek meskipun dalam cuaca berkabut ataupun hujan.
Ketiga, teknologi menarik seperti LiDAR digunakan untuk memperoleh data atau informasi obyek di sekitar tanpa melakukan kontak langsung (remote sensing).
Secara prinsip mirip dengan sensor radar, perbedaannya terletak pada penggunaan laser yang ditembakkan ke segala arah.
Selain mengukur jarak ke berbagai objek di jalan, LiDAR juga memetakan lingkungan di sekitarnya dalam bentuk tiga dimensi.
Setiap sensor memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penggabungan ketiganya bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat bagi kendaraan swakemudi.
Untuk menyongsong kehadiran teknologi swakemudi, sensor yang andal pun belum cukup.
Sensor harus bisa dengan mudah mengenali jalan sekitar.
Mendeteksi berbagai obyek, object detection, merupakan aspek awal yang harus bisa dilakukan oleh teknologi swakemudi.
Dari mulai mengenali kendaraan lain, marka jalan, lampu lalu lintas, serta rambu-rambu di jalan.
Kendaraan swakemudi sudah tentu harus bisa menghitung jarak dengan obyek lain (distance estimation), memosisikan kendaraan di lajur yang tepat dengan mendeteksi marka jalan (lane detection), memprediksi lintasan mengemudi (trajectory prediction), menentukan posisi dan orientasi (visual odometry), dan lain sebagainya.
Semua itu berkaitan erat dengan infrastruktur jalan yang ada.
Akan sulit bagi kendaraan swakemudi untuk diadopsi ketika kita tidak menyiapkan infrastruktur jalan yang bisa dikenali oleh teknologi tersebut.
Mulai dari jalan, rambu-rambu, marka, dan lainnya.
Memastikan tidak ada gangguan visual pada rambu-rambu lalu lintas tersebut juga merupakan aspek yang penting.
Infrastruktur merupakan prasyarat yang perlu diperhatikan ketika hendak mengadopsi teknologi swakemudi.
Selain infrastruktur, ada persoalan cukup krusial, bukan dari sisi teknis melainkan dari sisi hukum, moral, serta etika.
“Moral Machine”
Sistem autopilot pada kendaraan swakemudi Tesla baru-baru ini masuk ke dalam pengawasan Pemerintah AS.
Bulan lalu, Badan Keselamatan Jalan Raya AS menginvestigasi sistem swakemudi setelah terjadi sejumlah kecelakaan.
Penyelidikan dilakukan atas 11 insiden kecelakaan pada teknologi autopilot Tesla.
Di tengah revolusi otomotif saat ini terdapat pro-kontra terkait dengan sistem swakemudi.
Masalahnya mungkin seperti ini, bayangkan ketika ada sebuah kendaraan swakemudi yang melaju sangat cepat.
Tiba-tiba ada orang menyeberang dan menyelonong jalan begitu saja.
Bagaimana keputusan yang diambil ketika kecelakaan tidak dapat dihindari (unavoidable accident)?
Teknologi memiliki dua pilihan.
Pertama, memilih untuk mengerem, tetapi akan menabrak pejalan kaki.
Kedua, membanting setir ke arah lain, tetapi akan menabrak penghalang dan mencederai orang di dalam kendaraan tersebut.
Mana keputusan yang Anda pilih?
Masalah tersebut terkesan cukup simpel, mari coba kita tilik lebih dalam.
Bagaimana jika penyeberang adalah seorang ibu bersama anak-anaknya?
Bagaimana kalau kondisi mobil berisi orang tua atau pejabat negara?
Apabila kendaraan dapat berhenti dalam hitungan sekian detik, lalu bagaimana dengan potensi kecelakaan kendaraan di belakangnya?
Melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut teknologi swakemudi perlu menghitung bahaya yang paling kecil dari opsi-opsi yang ada.
Bisa jadi teknologi memilih keputusan untuk mencederai bahkan menghilangkan nyawa penumpangnya ataupun orang lain.
Dilema tersebut dikenal dengan istilah moral machine.
Berdasarkan penelitian dalam jurnal Nature, keputusan etis tidaklah universal.
Variasi dari keputusan tersebut bergantung pada letak demografi responden di dunia.
Dalam sejarah manusia kita berada di titik di mana kita mengizinkan mesin untuk memilih siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati, meskipun masih simulasi.
Selain masalah tersebut, apabila terjadi kecelakaan siapa nanti yang akan bertanggung jawab?
Jika penyeberang jalan menerobos marka, tentu jelas penyeberang yang salah.
Namun, ketika teknologi AI dan Machine Learning yang ada di kendaraan swakemudi telah menggantikan peran manusia untuk memutuskan siapa yang harus ditabrak, lantas kemudian ini menjadi kesalahan siapa?
Apakah kesalahan penumpang, perusahaan mobil, insinyur perancang mobil atau pengembang kecerdasan buatannya?
Mesin berbeda dengan kita, manusia.
Kita umumnya memilih keputusan ini secara alamiah sebagai seorang pengemudi.
Ketika kita tidak melibatkan dimensi kemanusiaan dalam teknologi, kita akan kehilangan dimensi manusia itu sendiri.
Diperlukan sinergi bersama terutama ilmuwan di bidang sosial dan humaniora untuk mampu melahirkan teknologi yang lebih manusiawi.
Diskursus tentang etika pada kendaraan swakemudi perlu dibahas supaya bisa menjadi lebih baik.
Mulai dari aspek hukum, moral, dampak sosial, hingga hak asasi manusia, tanpa memandang usia, etnis, agama, status sosial, atau lainnya.
Hal ini diperlukan untuk memberikan pendekatan masalah yang lebih mendalam, komprehensif dan tidak bias.
Aspek keselamatan (safety) merupakan hal yang paling krusial pada teknologi swakemudi.
Menurut David Strickland, Kepala NHTSA, lebih dari 37.000 nyawa melayang di jalan raya di AS pada tahun 2016.
Kelalaian manusia (human error) merupakan penyebab 94 persen dari semua kecelakaan tersebut.
Kelalaian itu seperti mengebut, kelelahan, mengemudi dalam keadaan mabuk, dan distracted driving (berkendara sambil telepon, chat, makan dan minum).
Dengan mengeluarkan aspek manusia dari proses mengemudi, kendaraan swakemudi diharapkan dapat secara signifikan mengurangi korban tewas dan terluka dalam kecelakaan.
Namun, sebelum kita mengizinkan teknologi swakemudi menggantikan peran manusia di jalan serta membuat keputusan etis, kita perlu mendiskusikan bagaimana teknologi ini akan diterapkan.
Hal ini diperlukan untuk merekomendasikan bagaimana mengembangkan algoritma moral serta pembuat kebijakan akan mengaturnya.
Di Indonesia, kendaraan swakemudi masih langka.
Namun, teknologi ini akan segera hadir, cepat ataupun lambat.
Perlu kesiapan infrastruktur serta strategi memosisikan teknologi swakemudi dengan tepat, baik untuk keselamatan diri, orang lain, serta potensi dampak sosial akibat dari automasi. (Ahmad Mustafid, Mahasiswa Magister Computer Science Technische Universität Kaiserslautern, Jerman)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Menyambut Teknologi Swakemudi”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/menyambut-teknologi-swakemudi/.