TANPA kita sadari, pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia telah mendorong menjamurnya inovasi layanan keuangan.
Namun, celakanya hal tersebut diikuti pula beragam risiko yang mengiringi, seperti kejahatan siber, kebocoran data, transparansi dan berbagai kecurangan lainnya.
Baca Juga:
Kontruksi Kasus Pembayaran Komisi Agen PT Jasindo, KPK Tahan 2 Tersangka
Di tengah beragam risiko tersebut, masyarakat sebagai konsumen dinilai belum cukup berdaya untuk mendukung haknya melalui mekanisme pelindungan konsumen.
Harian Kompas (2024) menyebutkan sepanjang kurun waktu 2018 hingga 2023, Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) konsisten masih bertahan pada tahap mampu (skor 57,04), belum sampai tahap kritis dan berdaya. Dengan kata lain, konsumen Indonesia belum banyak yang berani komplain.
Pemerintah menargetkan IKK meningkat menjadi tahap kritis (aktif memperjuangkan hak) pada 2024, atau dengan raihan skor indeks sebesar 60,1–80,0.
Baca Juga:
Kominfo Ancam Sanksi ‘Takedown’ Penyelenggara Jasa Pembayaran Terkait Judi Online
Konsumen pada tahap IKK ini dikategorikan berani berperan aktif memperjuangkan hak, melaksanakan kewajibannya serta mengutamakan produk dalam negeri.
Nah, salah satu PR bersama adalah bagaimana meningkatkan penanggulangan atas keterbatasan informasi layanan pengaduan yang saat ini dirasakan masih belum banyak, sehingga menyebabkan konsumen cenderung untuk tidak melakukan komplain apabila terdapat permasalahan/potensi kerugian (bersikap kritis).
Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu otoritas dan penyelenggara infrastrukur keuangan turut mendorong keberdayaan konsumen melalui area yang dikoordinasikannya, yakni di bidang sistem pembayaran (seperti kartu ATM/debit, kartu kredit, uang elektronik, cek atau bilyet giro, dompet elektronik, transfer dana dan berbagai transaksi pembayaran baik tunai maupun non-tunai), bidang kegiatan layanan uang (seperti jasa penukaran valuta asing atau kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank dan kegiatan layanan uang lainnya), serta bidang pasar uang dan pasar valuta asing (seperti surat berharga komersial, sertifikat deposito dan produk atau jasa lainnya).
Artikel ini lebih mendalami perlindungan konsumen sistem pembayaran yang saat ini tingkat penggunaannya dari sisi ritel dikatakan berhasil penetrasi dan akseptasinya.
Berdasarkan data yang diambil pada keputusan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pertengahan Oktober lalu, menyebutkan kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital pada triwulan III – 2024 tetap tumbuh didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal.
Dari sisi ritel, volume transaksi BI-Fast tumbuh 61,10 persen (yoy) mencapai 924,89 juta transaksi.
Transaksi digital banking tercatat 5.666,28 juta transaksi atau tumbuh sebesar 34,43 persen (yoy), sementara transaksi uang elektronik tumbuh 29,11 persen (yoy) mencapai 4.001,11 juta transaksi.
Transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM/debit turun 8,59 persen (yoy) menjadi 1.738,53 juta transaksi. Transaksi kartu kredit tumbuh 14,84 persen (yoy) mencapai 116,97 juta transaksi.
Sementara itu, transaksi QRIS terus tumbuh pesat sebesar 209,61 persen (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 53,3 juta dan jumlah merchant 34,23 juta.
Data ini menunjukkan betapa pesatnya inovasi dan akseptasi sistem pembayaran yang harus turut diimbangi dengan upaya pelindungan konsumen yang mumpuni.
Penting bagi otoritas untuk terus memperkuat hal ini guna menjamin kepastian hukum bagi konsumen agar terlindungi dari praktik yang tidak adil dan merugikan.
Karena hanya melalui pelindungan konsumen yang kuat, masyarakat sebagai konsumen semakin berdaya untuk mendukung haknya.
Harapannya, konsumen semakin percaya dan yakin untuk memanfaatkan layanan keuangan, baik konvensional maupun digital.
Kerangka Kerja Pelindungan Konsumen
BI menyusun kerangka kerja pelindungan konsumen yang bertumpu pada tiga pilar sasaran, yaitu pertama, penegakan market conduct melalui pengaturan yang prudent, adil, dan transparan.
Hal itu untuk penciptaan ekosistem pelindungan konsumen yang berkepastian hukum, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Kedua, peningkatan keberdayaan masyarakat melalui kepatuhan penyelenggara (baik penyelenggara sistem pembayaran kategori bank dan bukan bank) guna menunjukkan perilaku bisnis yang bertanggung jawab, perlakuan adil, memberikan pelindungan aset, privasi, dan data konsumen, serta meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan penyelenggara.
Serta ketiga, penanganan pengaduan konsumen yang efektif melalui keberdayaan konsumen sehingga konsumen memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian mengenai produk dan/atau layanan penyelenggara.
Selanjutnya, pada kerangka kerja tersebut menganut prinsip-prinsip seperti kesetaraan dan perlakuan adil, keterbukaan dan transparansi, edukasi dan literasi, perilaku bisnis yang bertanggung jawab, pelindungan aset konsumen terhadap penyalahgunaan, pelindungan data dan informasi konsumen, penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif, serta terakhir, penegakan kepatuhan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, lantas yang paling sering ditanyakan adalah bagaimana tata cara konsumen mengadu permasalahan terkait sistem pembayaran?
Tentunya penyelenggara sistem pembayaran yang harus pertama kali menerima pertanyaan dan keluhan konsumen apabila terdapat pengaduan.
Dalam hal ini, konsumen melapor ke pihak penyelenggara jasa melalui contact center masing-masing penyelenggara.
Selanjutnya penyelenggara harus menerima dan menanggapi laporan konsumen tersebut.
Nah, apabila konsumen belum puas, konsumen dapat menyampaikan pengaduan ini ke BI melalui contact center 131 atau langsung ke kantor BI terdekat.
BI akan memberikan solusi melalui edukasi, literasi dan juga memfasilitasi konsumen untuk menyelesaikan kendala.
Untuk semakin mendorong edukasi dan literasi publik agar konsumen semakin aware dan memahami, BI menggagas national campaign dinamakan PeKA, atau Peduli, Kenali, Adukan.
Jargon tersebut dimaknai sebagai peduli manfaat, risiko dan keamanan transaksi pembayaran.
Kenali penyelenggara dan regulatornya, pilih yang resmi dan terpercaya. Serta, Adukan masalah ke Bank Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Selain literasi edukasi, kata kunci berikutnya adalah kolaborasi. Kolaborasi antara regulator, perusahaan teknologi dan institusi keuangan untuk meningkatkan pelindungan konsumen mutlak untuk selalu dikedepankan.
Gerakan Bersama Pelindungan Konsumen (Geber PK) merupakan bentuk kolaborasi antara BI, OJK, Kemenkomdigi, ASPI, Perbanas, Aftech, APGI, serta pelaku di sektor keuangan yang bertujuan menggiatkan edukasi secara satu waktu, satu tema, dan multikanal.
* Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com, link: money.kompas.com/read/2024/11/15/133307526/pelindungan-konsumen-sistem-pembayaran