WAHANANEWS.CO, Jakarta - Institusi Praperadilan, sebagaimana dinormakan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah manifestasi kontrol yudisial esensial untuk menguji legalitas dan proporsionalitas upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum pada fase penyidikan.
Namun, aplikasi kewenangan Praperadilan menghadapi tantangan interpretatif signifikan ketika berhadapan dengan rezim hukum pidana khusus yang memiliki karakteristik prosedural tersendiri, seperti tindak pidana perpajakan.
Baca Juga:
Jadi Mitra DJP, Tax Center UNIAS Siap Beri Sosialisasi dan Pendampingan Perpajakan bagi Masyarakat
Penegakan hukum perpajakan memiliki sifat sui generis, berada pada irisan krusial antara hukum administrasi dan hukum pidana. Proses ini diawali tahapan fundamental yang disebut Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper).
Berdasarkan Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP), Bukper adalah pemeriksaan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan sebelum dilakukan penyidikan.
Diskursus mengenai status yuridis Bukper mengemuka intens pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek Praperadilan mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Muncul pandangan yang berargumen bahwa dalam pelaksanaan Bukper, terdapat tindakan, seperti peminjaman dokumen dan penyegelan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 177/PMK.03/2022, yang secara materiil menyerupai upaya paksa, sehingga seharusnya dapat diuji melalui Praperadilan.
Baca Juga:
Resmi Dilantik, Pengurus Tax Center UNIAS Sosialisasi Edukasi Perpajakan dan Pembukuan UMKM
Pandangan ini melahirkan disparitas putusan, menciptakan ketidakpastian hukum yang kontraproduktif bagi Wajib Pajak maupun efektivitas penegakan hukum oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Perkembangan terkini melalui Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023 memberikan landasan konstitusional definitif untuk mengakhiri polemik ini. Oleh karena itu, diperlukan analisis yuridis mendalam, menggunakan penalaran hukum tertinggi, diksi ilmiah presisi, dan argumentasi kokoh untuk mendudukkan posisi Bukper secara tepat. Pemikiran dalam tulisan ini bertujuan membuktikan secara imperatif bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan bukanlah objek Praperadilan.
Permasalahan hukumnya adalah apakah secara ontologis, berdasarkan kerangka normatif UU KUP dan KUHAP, serta interpretasi konstitusional terkini (khususnya Putusan MK No. 83/PUU-XXI/2023), Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dikualifikasikan sebagai bagian dari penyidikan yang mengandung upaya paksa, sehingga menjadikannya objek yang tunduk pada yurisdiksi lembaga Praperadilan?