Konsekuensi logisnya adalah segala tindakan bersifat upaya paksa, domain eksklusif Penyidikan, tidak boleh dilakukan dalam tahap Bukper. Amar putusan menyatakan Pasal 43A ayat (1) UU KUP inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "tidak terdapat tindakan upaya paksa".
Baca Juga:
Jadi Mitra DJP, Tax Center UNIAS Siap Beri Sosialisasi dan Pendampingan Perpajakan bagi Masyarakat
Interpretasi paling logis adalah bahwa MK secara imperatif melarang adanya upaya paksa dalam pelaksanaan Bukper. Karena Praperadilan berfungsi menguji sah atau tidaknya upaya paksa yang telah dilakukan, maka jika secara konstitusional upaya paksa dilarang dalam Bukper, maka Bukper secara ipso facto tidak dapat menjadi objek Praperadilan. Praperadilan menguji eksistensi dan legalitas upaya paksa, bukan ketiadaannya.
Dengan logika a contrario, putusan ini memperkuat argumentasi bahwa Bukper adalah ranah administratif/penyelidikan steril dari upaya paksa. Jika dalam praktiknya terdapat oknum melakukan tindakan melampaui kewenangan, tindakan oknum tersebut melanggar konstitusi, namun tidak mengubah status institusi Bukper menjadi objek Praperadilan. Pelanggaran tersebut dapat diuji melalui mekanisme hukum lain, seperti gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Selain interpretasi konstitusional, karakteristik inheren hukum pidana pajak sebagai lex specialis semakin memperkuat argumentasi ini. Penegakan hukum pajak tidak semata bertujuan retributif, tetapi sangat berorientasi restoratif (pemulihan keuangan negara).
Baca Juga:
Resmi Dilantik, Pengurus Tax Center UNIAS Sosialisasi Edukasi Perpajakan dan Pembukuan UMKM
Asas ultimum remedium sangat kental mewarnai penegakan hukum ini. Struktur ini termanifestasi dalam mekanisme Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan (Pasal 8 ayat 3 UU KUP). Mekanisme ini memungkinkan Wajib Pajak menghentikan proses Bukper dengan melunasi kekurangan pajak beserta sanksi administrasi. Adanya "pintu keluar" administratif ini menunjukkan Bukper belum sepenuhnya berada dalam rezim pidana murni. Bukper berfungsi sebagai filter administratif efisien sebelum eskalasi pidana. Mengintervensi proses ini melalui Praperadilan akan mendelegitimasi kekhususan hukum acara pidana perpajakan dan menghambat pemulihan kerugian negara.
Akhirnya, koherensi sistemik dan kebutuhan akan kepastian hukum juga mendukung posisi ini. Mahkamah Agung, sebagai puncak kekuasaan kehakiman, berperan menjaga kesatuan penerapan hukum. Melalui instrumen seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, yang menegaskan sifat restriktif Praperadilan dengan melarang Peninjauan Kembali atas putusannya, serta melalui pemberlakuan rumusan Rapat Pleno Kamar (sebagaimana dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2021 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2023), MA berupaya memastikan konsistensi putusan.
Dalam konteks Bukper, meskipun terdapat disparitas putusan di masa lalu, kepastian hukum kini telah ditegakkan melalui interpretasi konstitusional MK. Interpretasi ini seyogianya menjadi pedoman utama untuk menolak permohonan Praperadilan atas Bukper, demi menjaga integritas sistem hukum acara pidana khusus perpajakan.