Fondasi utama analisis terletak pada pemahaman tepat mengenai demarkasi ontologis antara Penyelidikan dan Penyidikan. KUHAP secara rigid membedakan keduanya. Pasal 1 angka 5 KUHAP mendefinisikan Penyelidikan sebagai tindakan untuk "mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana" guna menentukan kelayakan penyidikan. Sementara Penyidikan (Pasal 1 angka 2 KUHAP) bertujuan "membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya."
Secara normatif, UU KUP eksplisit menempatkan Bukper dalam fase prapenyidikan. Pasal 43A ayat (1) UU KUP menyatakan DJP berwenang melakukan Bukper "sebelum" dilakukan penyidikan. Konstruksi gramatikal ini menegaskan Bukper bukanlah Penyidikan. Doktrin hukum pidana pajak mengafirmasi bahwa Bukper ekuivalen dengan Penyelidikan dalam KUHAP.
Baca Juga:
Jadi Mitra DJP, Tax Center UNIAS Siap Beri Sosialisasi dan Pendampingan Perpajakan bagi Masyarakat
Fokus Bukper adalah menemukan eventus criminis (peristiwa pidana), bukan dader (pelaku). Subjek hukum yang diperiksa masih berstatus Wajib Pajak administratif.
Dengan demikian, Bukper adalah tindakan investigatif awal yang kental nuansa hukum administrasi. Praperadilan, berdasarkan Pasal 77 KUHAP dan perluasannya oleh MK, secara eksklusif ditujukan untuk mengawasi tindakan dalam fase Penyidikan yang bersifat pro justitia. Menarik Bukper ke ranah Praperadilan merupakan error in categorization fundamental dalam logika hukum acara pidana.
Aspek krusial berikutnya adalah analisis kritis terhadap ketiadaan upaya paksa pro justitia. Esensi Praperadilan adalah pengujian terhadap upaya paksa yang signifikan merampas hak fundamental individu dalam proses pro justitia. Argumen yang menyatakan Bukper dapat di-praperadilankan bertumpu pada asumsi keliru bahwa tindakan dalam Bukper merupakan upaya paksa. Kewenangan Pemeriksa Bukper (PMK-177/PMK.03/2022) harus dibedakan secara diametral dari penyitaan dan penggeledahan dalam KUHAP.
Baca Juga:
Resmi Dilantik, Pengurus Tax Center UNIAS Sosialisasi Edukasi Perpajakan dan Pembukuan UMKM
Kewenangan meminjam dokumen didasarkan pada kewajiban administratif Wajib Pajak (Pasal 28 dan 29 UU KUP). Ini adalah mekanisme pengawasan kepatuhan, bukan penyitaan dalam makna KUHAP.
Penyitaan adalah tindakan pro justitia yang mengambil alih penguasaan benda dan memerlukan izin pengadilan. Peminjaman dokumen dalam Bukper adalah pelaksanaan otoritas administratif. Demikian pula, tindakan Penyegelan adalah tindakan pengamanan sementara untuk mencegah penghilangan barang bukti. Ini bukan penggeledahan yang bertujuan mencari bukti paksa, melainkan tindakan pengamanan untuk menjaga status quo. Tindakan-tindakan ini tidak memenuhi kualifikasi dwang middelen yurisdiksi Praperadilan. Menguji tindakan administratif melalui instrumen pengujian tindakan pro justitia adalah error in procedure.
Argumentasi ini menemukan peneguhan konstitusionalnya yang paling definitif melalui Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023. Putusan ini merupakan landmark decision yang memberikan batasan konstitusional jelas dan otoritatif. Dalam pertimbangannya, MK secara eksplisit menyamakan kedudukan Bukper dengan Penyelidikan dalam KUHAP.