SETELAH Gonfalonier Piero Soderini tumbang, Sang Diplomat terisolir dari gerbang kekuasaan Firenze yang gemerlap.
Karir politiknya harus redup akibat terompet permainan kekuasaan yang sudah terlanjur tertiup.
Baca Juga:
Dua Pekan Menjelang Pilkada Jakarta, Pasangan Calon Berebut Dukungan Jokowi-Anies
Keluarga Medici yang baru berkuasa menganggapnya sebagai bagian dari persekongkolan politik yang berbahaya.
Alhasil, dia harus bernasib sama dengan Soderini, terpental dari semesta kuasa. Dia adalah Niccollo Machiavelli.
Kemudian dalam sepi tanah kelahirannya di Desa Casciano, Machiavelli menuangkan berbagai cerita kasak-kusuk dalam istana yang dialaminya. Sebuah karya babon ilmu politik yang berjudul "The Prince" pun tercipta.
Baca Juga:
Ribuan Warga Hadir, Saat Jokowi Blusukan di Banyumas Dampingi Luthfi
Sekitar 500 tahun yang lalu, kitab suci politik ini menjadi acuan semua orang yang belajar soal cara kekuasaan bekerja.
Banyak yang menganggap pikiran Machiavelli merupakan sebuah racun bagi politik. Dalam "The Prince", seorang penguasa digambarkan menggunakan segala cara untuk bertahan.
Kemudian, kitab ini menjadi dasar untuk memvonis politik sebagai permainan yang kotor, jahat, dan amoral.
Tentunya, anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru.
Kutipan-kutipan Machiavelli yang sering digunakan memang mengusik batin kebaikan manusia yang terdalam, "Penguasa yang bijaksana dapat mengingkari janjinya" dan "tujuan dapat menghalalkan cara".
Pada akhirnya, logika kekuasaan memang soal kepentingan untuk memenuhi hasrat semata.
Namun, Professor William Liddle dari The Ohio State University mengatakan pikiran Machiavelli tentu tidak akan dibahas lebih dari 500 tahun bila isinya hanya tentang keculasan penguasa.
Tidak perlu lagi diskursus Machiavelli dikembangkan dalam perbincangan politik, sebab kekuasaan sudah dituduh menjadi pihak antagonis atau penjahat yang tidak bermoral.
Di sisi yang sering luput dari perhatian banyak orang, Machiavelli justru menawarkan moralitas politik dalam memandang kekuasaan.
Penguasa tidak dapat selalu menggunakan moralitas personal dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Moralitas politik merupakan alasan yang sahih untuk berdamai dengan moralitas personal.
Dalam ukuran moralitas personal, berbohong merupakan tindakan yang tidak dapat diterima.
Namun sampai kiamat, moralitas personal membuat kita tidak dapat menemukan satu saja pemimpin yang bermoral. Siapa politisi yang bisa buktikan dirinya tidak pernah berbohong?
Sementara itu, moral politik dapat menjadi alasan untuk membilas cara yang dianggap menyimpang dalam kacamata moral personal.
Misalnya di beberapa daerah Pulau Jawa pada masa Orde Baru, anak keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mengakui asal-usulnya agar diperbolehkan mengikuti pendidikan atau menjadi pegawai negeri.
Walaupun tahu siapa saja yang merupakan keturunan PKI di lingkungan sekitar, semua orang memilih diam saja untuk melindungi hak sesama anak bangsa.
Dalam kacamata moralitas personal, orang-orang tersebut sudah melakukan kebohongan berjamaah. Namun, kebohongan tersebut dapat dibilas oleh moralitas politik, yakni melindungi kemanusiaaan.
Di era demokrasi Indonesia, seorang presiden tidak bisa lepas dari hantaman dari segala arah.
Presiden adalah puncak dari segala kekecewaan terhadap aktor negara. Setiap keputusan tidak akan mungkin puaskan semua orang.
Salah satu peristiwa politik yang terbilang mengubah ekspresi dukungan terhadap Presiden Joko Widodo adalah pencalonan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Sebagian pendukungnya mengumpat terhadap sikap Presiden Jokowi yang membiarkan semua proses ini terjadi.
Para moralis berteriak soal keputusan Mahkamah Konstitusi. Eks Ketua MK Anwar Usman yang merupakan kerabat Presiden merupakan aktor yang dianggap bersekongkol untuk memuluskan rencana pencalonan Gibran yang belum cukup umur.
Dalam keputusannya, MK menambahkan tafsir soal prasyarat calon presiden dan wakil presiden, yang tadinya berusia minimal 40 tahun menjadi 40 tahun atau pernah menjabat sebagai pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat.
Proses dari pengambilan keputusan ini dipertanyakan oleh orang-orang yang menganggap dirinya pejuang demokrasi.
Para moralis kecewa kepada Presiden Jokowi yang dituding ingin membangun politik dinasti.
Walaupun secara substansi, tidak ada orang yang dirugikan hak konstitusionalnya dari keputusan MK tersebut.
Kemarahan dan air mata para moralis tidak begitu menarik diulas untuk menemukan sebuah penjelasan politik. Patah hatinya para moralis harus dihormati sebagai sebuah iman politik.
Dalam persoalan iman, setiap warga negara memiliki hak yang dilindungi.
Namun dilihat dari sisi moral politik, pencalonan putra sulung Presiden Jokowi tampak lebih kepada strategi untuk membangun blok kekuatan politik alternatif.
Semakin imbang kekuatan yang bertarung di Pilpres, maka semakin bermutu kompetisi demokrasi yang dihadirkan.
Di tengah penolakan yang begitu tinggi pada sosok Menteri BUMN Erick Thohir di internal Koalisi Indonesia Maju, Gibran kemudian menjadi satu-satunya nama yang paling mungkin untuk mengikat barisan Tegak Lurus Jokowi.
Atas izin Presiden Jokowi pada pencalonan Gibran, blok PDI-Perjuangan pun mendapat lawan tanding sepadan.
Bayangkan jika blok politik Tegak Lurus Jokowi tidak pernah ada, maka PDI-Perjuangan akan jadi kekuatan paling dominan.
Sebagai sebuah fakta politik, kesatuan yang solid antara Presiden Jokowi dan PDI-Perjuangan akan sangat sulit tertandingi.
Apalagi menurut hampir semua jajak pendapat, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi selalu di atas 70%. Angka tersebut juga akan berpengaruh pada perolehan PDI-Perjuangan di parlemen.
Pemilu 2024 tidak akan menarik lagi, hasilnya sangat mudah ditebak. Tidak akan ada yang terkejut melihat Ganjar Pranowo melenggang dengan mudah ke Istana.
Gedung parlemen akan berwarna merah menyala, Senayan is red!
Sementara, Prabowo Subianto sudah pasti mengalami kekalahan ketiganya.
Peluangnya menjadi presiden bahkan untuk satu kali saja dalam hidupnya kemungkinan besar akan tertutup.
Dia akan dicatat sebagai orang kalah dalam sejarah. Jangan heran, KBBI nanti bisa menuliskan nama Prabowo sebagai istilah untuk merujuk pada orang yang mengalami kekalahan beruntun.
Dalam perjalanan politik Bangsa Indonesia, pisah jalan antara Presiden Jokowi dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri merupakan sesuatu yang patut disyukuri.
Kita tidak perlu takut lahirnya kekuatan politik tunggal yang mengorkestrasi semua keputusan politik, seperti zaman Orde Baru.
Politik Jokowiavelli selalu mengocok ulang kemungkinan politik. Relasi politik yang sangat rapuh, temporer, dan mudah berubah membutuhkan stabilitas. Di tangan siapa kepastian tersebut? Hanya di tangan Sang Raja.
Penulis adalah Co-founder Total Politik
Artikel ini sudah tayang di detik.com