Oleh AGNES SETYOWATI
Baca Juga:
Dalang Cilik Siswa SDN Sawotratap I Sidoarjo Perkenalkan Wayang Kulit Kepada Adik Kelas
WAYANG adalah salah satu produk kebudayaan nusantara yang telah diakui oleh UNESCO sebagai masterpiece of oral and intangible heritage of humanity pada 7 November 2003 lalu.
Dikutip dari situs resmi UNESCO wayang, yang berasal dari kata ma Hyang (menuju spiritualitas pada Sang Kuasa), dikategorikan sebagai seni pertunjukan di masyarakat.
Baca Juga:
Pagelaran Wayang Kulit, Kapolri: Warisan Budaya yang Sarat Pesan
Wayang juga bisa dimaknai sebagai pertunjukan bayangan yang dimainkan oleh dalang dengan iringan nyanyian sinden dan musik tradisional.
Wayang berfungsi sebagai media hiburan rakyat baik di masa lalu maupun sekarang dan sebagai media dakwah umat Hindu dan Islam.
Pertunjukan wayang kerap mengangkat berbagai cerita tentang epos, kehidupan manusia, kepahlawanan, hingga berbagai peristiwa sejarah penting.
Dari kisah pewayangan kita diajak untuk mendalami karakter dan sifat manusia yang diselipkan ke dalam tokoh-tokohnya.
Kita belajar mengenal sifat-sifat manusia seperti baik, buruk, serakah, jahat yang bisa saja kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, kita secara tidak langsung juga dibekali pengetahuan sosial-kultural tentang berbagai karakter manusia supaya kita dapat menjalani kehidupan secara bijaksana dan lebih berhati-hati dalam bertindak.
Mengenal Sengkuni
Salah satu tokoh wayang yang sangat populer di kalangan masyarakat dan wiracarita Mahabhrata adalah Trigantalpati, seorang tokoh elite Astina di pemerintahan Kurawa yang dikenal sebagai Sengkuni.
Sengkuni adalah saudara kandung dari Permaisuri Gandari yang merupakan istri dari Destarata (Raja negara Astina) dan ibu dari Duryudana.
Sosoknya dikenal jahat, suka mengadu domba, dan selalu menghalalkan segala cara dalam mendapatkan keinginannya.
Kisah kejahatan politik Sengkuni bermula ketika kakaknya, Dewi Gandari, yang dikenal kejam, bengis dan pendendam meminta bantuannya untuk mencari cara supaya anaknya Duryudana (anak sulung dari 100 bersaudara) menjadi raja Astina yang pada masa itu masih dipimpin Pandu Dewanata (adik dari Destarata).
Dalam kisah pewayangan, Pandu Dewanata terlibat dalam perang melawan muridnya sendiri Prabu Tremboko dan berakhir dengan kematian keduanya.
Tragedi berdarah ini terjadi akibat politik adu domba Sengkuni untuk merebut tampuk kekuasaan dari Pandu.
Destarata kemudian menjadi raja ad-interim (sementara) setelah kematian Pandu hingga Pandawa (anak-anak Pandu yang akan mewarisi tahta kerajaan Astina) beranjak dewasa.
Namun tidak berhenti sampai di sini, Sengkuni terus melancarkan aksi politiknya dengan terus mempengaruhi Destarata untuk menyerahkan kekuasaannya sementara waktu kepada anak sulungnya Duryudana yang juga keponakan Sengkuni.
Akhirnya, karena rayuan Sengkuni, Destarata menyerahkan kekuasaan kepada putra sulungnya, Duryudana, hanya untuk sementara waktu saja hingga para pandawa beranjak dewasa dan cukup usia untuk memimpin Astina.
Kendati demikian, tidak ada kata sementara bagi Sengkuni.
Ia terus melakukan tindak kejahatan, menyusun rencana licik, dan menghalalkan segala cara untuk melenyapkan para Pandawa supaya keponakannya bisa berkuasa selamanya di Astina.
Inilah yang menjadi cikal bakal perang saudara antara Pandawa dan Kurawa yang dikenal dengan Bharatayudha (Sansekerta: perang keturunan Bharata).
Layaknya rumus alam yang mengatakan bahwa segala hal di dunia memiliki batas waktu, kejahatan Sengkuni pun harus selesai.
Ia akhirnya tewas di tangan Werkudara (Bima, putra kedua Pandawa) di Bharatayudha yang ia ciptakan sendiri (menurut Kakawin Bharatyudha Karya Mpu Panuluh Tahun 1157 M dalam Saroni et al, 2020).
Di detik-detik terakhir kematiannya Sengkuni memilih tetap untuk konsisten dengan karakternya yang jahat, licik, gemar melakukan adu domba, dan haus akan kekuasaan.
Ia bahkan tidak pernah menyesali apa yang selama ini ia perbuat.
Kehidupan Masa Lalu Sengkuni
Dalam wiracarita Mahabharata, Sengkuni memang dikenal dengan karakternya yang buruk, kejam, dan suka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Hampir dipastikan mayoritas tokoh dalam cerita tersebut sangat membenci sosoknya.
Namun, kita perlu menilik peristiwa masa lalu yang menjadi alasan kuat mengapa Sengkuni menjadi begitu jahat.
Dikutip dari video CakNun.com (2019), budayawan Cak Nun menjelaskan bahwa Sengkuni pernah mengalami penderitaan yang sangat pelik.
Ia pernah dipenjarakan bersama dengan kedua orangtua dan 100 saudaranya oleh Destarata suami dari Dewi Gandari yang merupakan kakak kandung Sengkuni.
Selama masa hukuman, ia bersama orangtua dan saudaranya merasakan penderitaan yang sangat luar biasa.
Masing-masing dari mereka hanya diberikan sebutir nasi untuk makan setiap harinya.
Dengan alasan bertahan hidup, Sengkuni selama bertahun-tahun terpaksa harus memakan orangtua dan saudaranya sendiri (tidak termasuk Gandari).
Dari masa lalu Sengkuni yang begitu pahit, kita bisa mendapatkan alasan kuat mengapa ia menjadi sosok yang kejam.
Perspektif sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan merupakan hasil proses belajar psikologis yang bisa terjadi akibat paparan tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya.
Secara potensial, peniruan atau pengulangan akan terjadi.
Hal serupa dapat kita temukan dalam salah satu karakter DC Comics, Joker (musuh Batman).
Shita Dewi Ratih Permatasari (2020) dalam artikelnya berjudul The Altruistic Side of Arthur Fleck as The Main Character in Todd Phillip’s Joker menjelaskan soal perubahan karakter Joker yang diakibatkan oleh peristiwa masa lalunya.
Sebelum berubah menjadi Joker yang bengis, sadis, dan licik, Arthur Fleck merupakan sosok yang baik, jujur, dan penyayang.
Ia berubah setelah mengalami serangkaian peristiwa pahit dalam hidupnya seperti dibohongi oleh ibunya sendiri, difitnah oleh teman kerjanya, hingga tidak diakui oleh ayah kandungnya.
Sementara itu, Sigmund Freud berargumen bahwa kejahatan yang dilakukan oleh manusia berakar dari prinsip kesenangan karena manusia pada dasarnya memiliki dorongan alamiah untuk meraih kepuasaan (pleasure principle) seperti makan, seks, dan kelangsungan hidup.
Freud percaya bahwa cara orang mendapatkan pleasure berbeda-beda.
Bisa diperoleh dengan cara legal atau ilegal (tindak kejahatan).
Melalui dua konsep di atas kita dapat menyimpulkan bahwa masa lalu Sengkuni menjadi salah satu alasan kuat mengapa ia menjadi jahat karena hal tersebut terjadi sebagai dampak dari perlakuan kejam yang ia alami bersama orangtua dan saudara-saudaranya.
Waspada terhadap Sengkuni di Sekitar Kita
Terlepas dari masa lalu Sengkuni yang pahit, kejahatan tetaplah kejahatan.
Karakter Sengkuni yang gemar menebar fitnah dan mengadu domba hingga menimbulkan perpecahan dan perang saudara tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Jika ditarik ke konteks saat ini, Sengkuni selalu muncul dalam kontetasi politik Indonesia sebagai analogi perebutan kekuasaan.
Para politikus partai rela melakukan atau mengahalkan berbagai cara seperti melakukan black campaign hingga menebar hoaks untuk mempolarisasi dan menggiring opini khalayak demi mendapatkan kekuasaan.
Seno Gumira Ajidarma (Kompas 30/01/2017) sempat berkelakar bahwa "sudah saatnya kita perang baratayudha" untuk melawan politik adu domba berupa penyebaran berita bohong yang berpotensi memecah belah bangsa.
Dari Sengkuni kita belajar bahwa manusia memiliki dua sisi, baik dan jahat.
Salah satunya akan menonjol tergantung dari peristiwa yang melatarbelakanginya.
Ia juga mengajarkan kita bahwa setiap manusia punya hasrat untuk berkuasa namun cara mendapatkannya berbeda-beda.
Ia memang ada di dalam wiracarita Mahabhrata namun duplikasinya ada di sekitar kita atau mungkin ada dalam diri kita sendiri.
Waspadalah! (Agnes Setyowati, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Sengkuni dan Politik Adu Domba: Belajar Karakter Manusia dari Kisah Pewayangan”. Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/19/203246365/sengkuni-dan-politik-adu-domba-belajar-karakter-manusia-dari-kisah.