Oleh PAUL SUTARYONO
Baca Juga:
Apindo Ungkap Penyebab Tutupnya Banyak Pabrik dan PHK di Jawa Barat
KINI semua mata investor dalam dan luar negeri sedang memelototi gerak saham sektor (perbankan) teknologi.
Terlebih ketika PT Bukalapak.com, Tbk (BUKA) mulai melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai unicorn pertama pada 6 Agustus 2021.
Baca Juga:
Sejarah UMKM Nasional, Roda Penggerak Perekonomian Indonesia
Bagaimana tantangan saham sektor (perbankan) teknologi?
Faktor apa saja yang mendorong maraknya saham sektor (perbankan) teknologi?
Sudah barang tentu, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi (TI) seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, dan internet of things menjadi faktor utama dalam menggeber industri perbankan berbasis TI, internet, dan digital.
Hal itu dipicu juga oleh perubahan perilaku konsumen (customers" behaviour) yang menyukai pembayaran non-tunai sebab lebih cepat dan praktis.
Hal tersebut dipacu pula oleh pandemi Covid-19.
Kemudian muncul gagasan untuk mendirikan atau mengubah model bisnis dari bank umum menjadi bank digital (neo bank).
Bank digital merupakan bank yang menyediakan layanan perbankan secara daring tanpa jaringan fisik.
Kini terdapat lima bank yang telah menobatkan diri sebagai bank digital, yaitu Jenius dari Bank BTPN, Wokee (Bank KB Bukopin), Digibank (Bank DBS), TMRW (Bank UOB,) dan Jago (Bank Jago).
Ada tujuh bank telah mengajukan izin ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bertransformasi menjadi bank digital, yaitu Bank BCA Digital, Bank Agroniaga, Bank Neo Commerce, Bank Capital, Bank Harda, Bank QNB, dan Bank KEB Hana (Kontan.co.id, 10 Juni 2021).
Namun, menurut saya, lima bank digital itu hanya merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari bank.
Nah, mulailah saham sektor perbankan berbasis teknologi diburu investor ritel terutama generasi milenial yang kini mencapai sekitar 85 juta orang (31,37 persen) dari total penduduk Indonesia 271 juta orang.
Aneka Tantangan
Lantas, apa saja tantangan saham sektor (perbankan) teknologi?
Pertama, di sinilah Bank Jago (ARTO) yang sebelumnya bernama Bank Artos Indonesia menjadi jagonya dalam mendulang keuntungan dari harga sahamnya yang terus menjulang tinggi.
Pembukaan harga saham dari sekitar Rp 4.130 pada 30 Desember 2020 kini melesat 292,86 persen menjadi Rp 16.225 per 15 Agustus 2021.
Tak mau kalah, calon bank digital lainnya menjadi incaran investor.
Sebut saja, Bank Argoniaga (ARGO), Bank Neo Commerce (BBYB), Bank Capital (BACA), Bank Harda Internasional (BBHI), dan Bank QNB (BKSW).
Ternyata bukan hanya saham calon bank digital yang diserbu investor, melainkan juga saham bigtech seperti Bukalapak (BUKA).
Penawaran saham pertama (initial public offering/IPO) Bukalapak mencapai kelebihan permintaan 8,7 kali lipat dari hampir 100.000 investor.
Alhasil dengan menawarkan 103.062.019.354 saham, Bukalapak mampu meraih dana Rp 21,9 triliun sebagai pencapaian tertinggi dalam sejarah pasar modal.
Karena itu, diprediksi langkah itu akan diikuti bigtech lainnya, seperti GoTo (merger antara Gojek dan Tokopedia) dan Grab.
Coba amati harga saham Bukalapak.
Pada hari pertama, 6 Agustus 2021, harga saham yang semula Rp 850 per saham naik 24,71 persen menjadi Rp 1.060.
Namun, kini terjun bebas menjadi Rp 890 pada sesi pertama 16 Agustus 2021.
Akibatnya, investor individu dengan modal cekak akan gigit jari.
Sebaliknya, investor institusi dengan modal perkasa bakal panen raya.
Kedua, karena itu, investor individu sudah semestinya memahami analisis fundamental sebelum investasi saham.
Analisis fundamental adalah teknik analisis saham yang fokus pada beberapa faktor, seperti kinerja perusahaan yang bersangkutan, persaingan usaha, industri, hingga kondisi ekonomi baik ekonomi makro dan mikro.
Namun, sepertinya rumus itu sering mereka abaikan.
Akhirnya, meskipun (calon) emiten masih merugi, mereka tetap saja mengejar saham itu.
Mengapa?
Mungkin mereka berpikir bahwa membeli saham identik dengan membeli masa depan.
Sikap sembarangan tanpa memperhitungkan fundamental keuangan seperti itu bisa membawa potensi risiko kerugian.
Akibat sampingannya, saham bank papan atas yang termasuk indeks LQ45 justru kurang dilirik.
Padahal, indeks LQ45 yang terdiri dari 45 saham merupakan saham yang likuid dan memenuhi kriteria tertentu dan akan dievaluasi setiap enam bulan.
Indeks itu meliputi emiten dari aneka sektor, seperti sektor perbankan: Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Negara Indonesia (BBNI) dan Bank Tabungan Negara (BBTN); sektor pertambangan: Adaro Energy (ADRO) dan Aneka Tambang (ANTM); sektor infrastruktur: Jasa Marga (JSMR) dan Wijaya Karya (WIKA); sektor otomotif: Astra Internasional (ASII); dan sektor kesehatan: Kalbe Farma (KLBF).
Hasil evaluasi terbaru muncul dua anggota baru Barito Pacific (BRPT) dan Timah (TINS) masing-masing menggantikan Bank BTPN Syariah (BTPS) dan Ciputra Development (CTRA) efektif Agustus 2021 hingga Februari 2022.
Saham mereka akan menjadi intaian investor ritel.
Terutama saham TINS ketika industri mobil dan baterai listrik telah berjalan.
Ketiga, sesungguhnya investasi saham merupakan salah satu instrumen investasi jangka menengah hingga panjang.
Namun, lagi-lagi formula ini seolah diabaikan oleh investor individu.
Kemudian, apa yang mereka lakukan?
Mereka bergegas membeli saham ketika saham itu cenderung naik.
Atau mereka menjual saham segera setelah keuntungan sudah di depan mata (take profit) atau menjual saham sebelum merugi lebih banyak (cut loss).
Semua itu dilakukan dalam jangka pendek.
Untuk memburu dividen, investor individu pun memborong saham emiten yang segera membagikan dividen.
Padahal, dividen baru akan dibagi ketika emiten menggapai laba.
Bahkan, sekalipun emiten meraih laba, tetapi rapat umum pemegang saham (RUPS) berkata lain, maka dividen tidak akan dibagikan kepada investor.
Keempat, ingat senantiasa bahwa dalam investasi saham itu juga tersimpan dua risiko.
Risiko pertama yang disumbangkan oleh kondisi umum perekonomian atau risiko pasar (market risk).
Misalnya, siklus usaha, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar dan kondisi politik atau hal lain yang merupakan faktor makro ekonomi yang tidak bisa diprediksi dengan pasti dan tentunya memengaruhi tingkat imbal hasil saham dari masing-masing saham.
Risiko kedua adalah risiko khusus yang disumbangkan setiap perusahaan (firm specific risk).
Misalnya, perubahan susunan manajemen, kegagalan dalam pemasaran yang tidak berpengaruh (independen) pada perusahaan lain dalam suatu perekonomian (Tedy Fardiansyah, 2002).
Kelima, untuk itu, OJK dan perusahaan sekuritas perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada investor individu tentang madu (profit) dan racun (potensi risiko) dalam investasi saham.
Hal itu bertujuan final untuk menggenjot tingkat literasi saham (stock literacy) investor individu dan menggairahkan pasar modal.
Menurut OJK, investor pasar modal mengalami kenaikan 93 persen (yoy) menjadi 5,82 juta orang hingga Juli 2021.
Jumlah itu didominasi oleh investor ritel berusia di bawah 30 tahun (milenial).
Keenam, selain itu, terdapat dua bank papan atas atau bank umum kegiatan usaha (BUKU 4 dengan modal inti di atas Rp 30 triliun) yang segera meluncurkan anak perusahaan mereka untuk menjadi bank digital.
BRI menjagokan Bank Agroniaga (AGRO) untuk menjadi bank digital.
Saham AGRO sudah melejit.
Sementara itu, BCA sedang merencanakan anak perusahaannya, Bank BCA Digital, untuk IPO dalam waktu dekat.
Dengan bahasa lebih bening, dapat diduga saham Bank BCA Digital akan segera diburu pula oleh investor.
Tidak berhenti di situ.
BCA segera memecah saham (stock split) dengan rasio 1:5 yang bertujuan supaya harga saham dapat lebih terjangkau (affordable) oleh investor ritel.
Saat ini, harga saham BCA mencapai Rp 32.050 per 15 Agustus 2021.
Dengan demikian, harga saham pasca pemecahan harga saham akan mencapai sekitar Rp 6.410.
Harga saham tersebut akan mendekati harga saham BUKU 4 lainnya, seperti Bank Mandiri Rp 6.000, BRI Rp 3.870, dan BNI Rp 5.100.
Buahnya, tak hanya saham Bank BCA Digital, tetapi juga saham BCA dengan kapitalisasi pasar (market capitalization) paling tinggi Rp 778,63 triliun per 16 Agustus 2021 akan ditimang-timang dan dipeluk investor.
Ketujuh, apakah di masa mendatang semua bank umum perlu menjadi bank digital?
Tidak!
Bank umum lainnya "cukup" menggali aneka produk dan jasa perbankan berbasis digital.
Kelak, bank digital akan terseleksi sendiri oleh alam.
Ringkas tutur, bank digital yang memiliki eksosistem digital prima akan menjadi bintangnya.
Kedelapan, selain itu, ternyata tingkat pencapaian vaksinasi (terhadap total penduduk suatu negara) memengaruhi kinerja indeks saham.
Coba simak data berikut:
Amerika Serikat dengan tingkat pencapaian vaksinasi 50,5 persen per 6 Agustus 2021, kinerja indeks Dow Jones naik 15 persen, S&P 500 naik 18,1 persen.
Kemudian Brasil menyusul dengan 20,6 persen yang mendorong indeks BOVESPA naik 3,2 persen, Inggris 58,3 persen (indeks FTSE 100 naik 10,3 persen), Spanyol 59,7 persen (IBEX 35 naik 10 persen), Jerman 53,7 persen (DAX naik 14,9 persen), Italia 54,3 persen (FTSE MIB naik 16,9 persen) dan Perancis 49,4 persen (CAC 40 naik 22,8 persen) serta China tidak ada data (SHCOMP turun 0,4 persen).
Demikian pula, Singapura 63,4 persen (STI naik 11,7 persen), Hong Kong 34,5 persen (Hang Seng turun 3,9 persen), Korea Selatan 14,6 persen (KOSPI naik 13,8 persen), Malaysia 25 persen (FBM KLCI turun 8,4 persen), Indonesia 8,2 persen (JCI naik 3,8 persen) dan Thailand 6 persen (SET naik 5 persen) (The Edge CEO Morning Brief, 10 Agustus 2021).
Data itu menegaskan bahwa betapa penting dan mendesaknya percepatan vaksinasi nasional untuk dilakukan dalam mengerek kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kemudian menyetrum pertumbuhan ekonomi.
Namun, mengapa indeks saham Hong Kong dan Malaysia justru turun masing-masing 3,9 persen dan 25 persen?
Penurunan itu disebabkan risiko pasar berupa hebohnya politik di dalam negeri.
Tan Sri Muhyiddin dituntut untuk mudur sebagai Perdana Menteri Malaysia.
Hong Kong dilanda demonstrasi yang menuntut pencabutan Undang-Undang Keamanan Nasional karena aturan itu dianggap membungkam jiwa demokrasi. (Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Tantangan Saham Sektor Perbankan Berbasis Teknologi". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/09/01/tantangan-saham-sektor-perbankan-berbasis-teknologi/.