Oleh YUKIE H. RUSHDIE
Baca Juga:
Daftar Lengkap Pengurus DPP Partai Golkar Periode 2024–2029
SEKILAS, ketika “bermain-main” ke kompleks perkantoran Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar di daerah Slipi, Jakarta Barat, mata ini tertancap agak lama pada sebuah fenomena.
Di situ, berdiri sebuah bangunan bertuliskan “Graha Akbar Tandjung”.
Baca Juga:
Bahlil Lahadalia Umumkan 150 Pengurus Baru DPP Partai Golkar
Kesan pertama, “Wajar,” desis hati saya.
Bagaimanapun, petualangan Akbar Tandjung di atas lantai politik memang tak bisa diceraikan dari Golkar.
Maka, sungguh wajar jika Golkar sendiri kemudian menyematkan nama Akbar Tandjung pada salah satu “graha” di kompleks perkantoran DPP-nya.
Kesan lanjutannya, adalah sebuah pertanyaan: se-“Akbar Tandjung” itukah Partai Golkar?
Nah, pertanyaan itulah yang membuat mata saya jadi tertancap agak lama pada fenomena Graha Akbar Tandjung.
Karena, setidaknya, segenap mesin yang ada di dalam kepala saya tetiba saja jadi berputar kencang, melacak sejumlah referensi, demi mendapatkan jawaban untuk pertanyaan tadi.
Begini hasilnya:
Tak sedikit kader “beringin” yang menasbihkan Akbar Tandjung sebagai penyelamat Partai Golkar.
Lewat Munas Luar Biasa di tahun 1998, atau hanya berjarak sekian bulan usai gerakan reformasi “sukses” menumbangkan hegemoni Presiden Soeharto bersama pemerintahan Orde Baru-nya, Akbar Tandjung menaiki tahta Ketua Umum Partai Golkar.
Kala itu, seabrek pihak, terlebih kaum anti-Orba, merancang skenario sederhana berbunyi: “Orba Tumbang, Golkar pun Wajib Bubar!”
Bahkan, pandangan para pengamat pun mulai berseliweran, baik melalui media mainstream (arus utama) maupun substream (arus cadangan), bahwa tumbangnya Soeharto bakal sekaligus menjadi lembar penutup bagi riwayat Golkar.
Maka, sejarah kemudian merekam munculnya aneka cara demi menghabisi Golkar.
Kader-kader Golkar dianiaya, kantor-kantornya di Pulau Jawa dirusak dan dibakar.
Semua kabar itu dipuncaki dengan maklumat Presiden Abdurrahman Wahid untuk membubarkan DPR dan Partai Golkar.
Lantas, binasakah Golkar?
Tidak, ternyata.
Di tengah-tengah ketidakpastian situasi negara, tatkala badai anti-Golkar kian kencang berputar, dan ketika dirinya pribadi diburu orang-orang yang tidak jelas identitasnya, Akbar Tandjung --dari tahta tertinggi Partai Golkar-- tetap “dingin” memantau peristiwa-peristiwa tersebut.
PADA 1999, atau hanya setahun selepas Munas Luar Biasa Partai Golkar, Indonesia menggelar Pemilu Multipartai.
Artinya, Partai Golkar hanya punya waktu setahun untuk melakukan konsolidasi jelang Pemilu.
Di sinilai peran ke-“Akbar-Tandjung”-an Partai Golkar betul-betul menghadapi ujian.
Bukan saja harus berhadapan dengan gelombang hujatan dan banjir caci maki, Partai Golkar pun harus merangkak di tengah kader-kader yang tidak setia untuk tetap berjalan di dalam barisan.
Belum lagi kehadiran puluhan parpol peserta Pemilu lain, yang seolah bersepakat untuk segera membenamkan dominasi Golkar di era Orba.
Pada situasi semacam itulah Akbar Tandjung harus memimpin Partai Golkar menaiki panggung Pemilu 1999.
Hasilnya?
Partai Golkar menjadi peraih suara terbanyak kedua, setelah PDI Perjuangan.
Tetapi, bukannya mereda, memasuki periode 1999-2004 itu badai topan yang meniup pohon “beringin” justru kian ganas.
Dan, pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan memorandum pembubaran Partai Golkar.
Memorandum itu dimaklumatkan Presiden pada sekitar pukul 22.00 WIB.
Akbar Tandjung, ternyata, tak sudi menyerah.
Esoknya, sekitar pukul 05.00 WIB, Mahkamah Agung membatalkan memorandum tersebut.
Dan, itu jualah kemudian yang menjadi cikal bakal “selesai”-nya pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Alhasil, lewat pengapungan slogan Ayo Bung Rebut Kembali, Partai Golkar pun sontak melakukan konsolidasi total, demi menatap panggung Pemilu berikutnya, 2004.
Ujung-ujungnya, bersama semangat merebut kembali kejayaan, ditambah soliditas dan militansi tim kerja yang sungguh luar biasa, Akbar Tandjung akhirnya mampu membawa Partai Golkar memenangi Pemilu 2004 dengan raihan suara dan kursi parlemen terbesar.
DI tahun itu juga, 2004, Partai Golkar menghelat Munas di Bali.
Pada titik inilah ironisme itu lahir.
Perjuangan berlumpur Akbar Tandjung “menyelamatkan” Partai Golkar dari arus kuat pembubaran, akhirnya harus bertekuk lutut di bawah pragmatisme para peserta Munas.
Suara Akbar Tandjung kalah kencang dari Jusuf Kalla, yang saat itu menduduki kursi RI-2 alias Wakil Presiden.
Dan, di era kepemimpinan Jusuf Kalla itu pulalah Akbar Tandjung seolah “diceraikan” dari Partai Golkar.
Muncul kesan, pada masa itu Golkar tidak boleh meng-“Akbar Tandjung” dan Akbar Tandjung sendiri dilarang meng-“Golkar”.
Betapa tidak?
Di zaman Jusuf Kalla itu, Akbar Tandjung tidak menduduki jabatan apapun, dan tak mendapat peran apa-apa.
Bahkan, untuk sekadar mengisi acara Partai Golkar di Sumatera Utara saja, termasuk di kampung halamannya sendiri, Tapanuli Tengah, ia dihalangi.
Namun, lagi-lagi, Akbar Tandjung tetap kalem, sabar, dan memantau secara jernih dari sudut netral.
Lahirlah fakta, pada Pemilu 2009, di bawah kendali Jusuf Kalla, Partai Golkar tak kuasa mempertahankan posisinya sebagai juara bertahan Pemilu 2004.
Jumlah raihan kursi Partai Golkar turun ke urutan nomor 2, dan terus melorot lagi pada dua gelaran Pemilu berikutnya, 2014 dan 2019.
Kini, Akbar Tandjung memang tak lagi muda.
Akan tetapi, ke-Akbar-Tandjung”-annya tetaplah terjaga, karena ia memang sudah menjadi legenda bagi Partai Golkar.
Ke-“Akbar-Tandjung”-an telah terfaktakan mampu menyelamatkan Partai Golkar di masa transisi.
Maka, ketika mata ini menangkap sebuah gedung di kompleks perkantoran DPP Partai Golkar bertuliskan “Graha Akbar Tandjung”, dan seluruh mesin di dalam kepala usai berselancar ke sana ke mari, muncullah sebentuk kelegaan.
Memang, se-“Akbar Tandjung” itulah Partai Golkar… (Yukie H. Rushdie, Pemimpin Redaksi WahanaNews)-yhr