WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena perubahan iklim terus menunjukkan dampak yang semakin mengkhawatirkan.
Data terbaru dari riset UNESCO mengungkap bahwa gletser di seluruh dunia mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, memberikan dampak besar terhadap keseimbangan lingkungan global.
Baca Juga:
Mentan Ajak Gerakan Pramuka Kontribusi Majukan Pertanian
Mengutip laporan Reuters, Direktur World Glacier Monitoring Service, Michael Zemp, yang melakukan penelitian dalam kerangka UNESCO, menyebutkan bahwa sejak 1975, sekitar 9.000 gigaton es telah hilang dari gletser dunia. Jumlah tersebut setara dengan bongkahan es sebesar Jerman dengan ketebalan mencapai 25 meter.
Dari data terbaru, lima dari enam tahun terakhir mencatat rekor kehilangan es terbesar dalam sejarah. Pada tahun 2024 saja, sekitar 450 gigaton es mencair, menjadikan gletser pegunungan sebagai salah satu penyumbang utama kenaikan permukaan air laut.
Kondisi ini meningkatkan risiko banjir besar yang berpotensi merusak infrastruktur dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir.
Baca Juga:
Menkeu Ingatkan Adanya Krisis Pangan dan Energi di 2023
Dampak Global yang Mengkhawatirkan
Laporan UNESCO menyoroti bahwa pencairan gletser terjadi dari Arktik hingga Alpen, dari Amerika Selatan hingga Dataran Tinggi Tibet.
Fenomena ini semakin dipercepat oleh pemanasan global yang didorong oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Kenaikan suhu bumi ini bukan hanya berdampak pada pencairan es, tetapi juga berkontribusi terhadap berbagai masalah ekonomi, lingkungan, dan sosial di seluruh dunia.
Menurut Stefan Uhlenbrook, Direktur Air dan Kriosfer di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), saat ini masih terdapat sekitar 275.000 gletser di seluruh dunia.
Gletser ini, bersama lapisan es di Antartika dan Greenland, menyimpan sekitar 70% air tawar dunia. Namun, tanpa langkah mitigasi yang serius, sumber daya air ini semakin terancam.
Ancaman bagi Masyarakat Pegunungan
Sekitar 1,1 miliar orang yang tinggal di komunitas pegunungan menghadapi dampak langsung dari pencairan gletser.
Selain meningkatnya risiko bencana alam seperti longsor dan banjir bandang, mereka juga mengalami ketidakpastian dalam pasokan air tawar.
Medan yang sulit dan lokasi terpencil semakin memperumit upaya mitigasi dan adaptasi di wilayah-wilayah tersebut.
Pemanasan global juga memperparah kekeringan di daerah yang bergantung pada lapisan salju sebagai sumber utama air tawar.
Selain itu, bencana seperti banjir luapan danau glasial (GLOF) semakin sering terjadi, membawa ancaman serius bagi masyarakat sekitar.
Peringatan dari Ilmuwan dan Langkah Mitigasi
Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika dari BRIN, Thomas Djamaludin, memperingatkan bahwa fenomena pencairan es ini akan semakin cepat jika tidak ada tindakan nyata untuk mengurangi emisi karbon.
Laporan UNESCO juga mencatat bahwa pencairan gletser pegunungan sejak tahun 2000 telah menyebabkan kenaikan permukaan laut global sebesar 18 milimeter, atau sekitar 1 mm per tahun.
Bahkan, menurut World Glacier Monitoring Service, kenaikan satu milimeter saja dapat menyebabkan hingga 300.000 orang terpapar banjir tahunan.
Seorang petani di Peru yang hidup di hilir gletser yang mencair telah membawa masalah ini ke pengadilan. Ia menggugat perusahaan energi Jerman RWE atas kontribusinya terhadap perubahan iklim dan menuntut kompensasi atas risiko banjir yang mengancam kehidupannya.
Ahli glasiologi Heidi Sevestre dari Program Pemantauan dan Penilaian Arktik menambahkan bahwa pencairan es ini terjadi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Dalam kunjungannya ke Pegunungan Rwenzori di Afrika Timur, ia mengungkap bahwa gletser di sana diperkirakan akan menghilang sepenuhnya pada tahun 2030.
Masyarakat adat Bakonzo yang tinggal di sekitar wilayah tersebut percaya bahwa gletser adalah tempat tinggal dewa mereka, Kitasamba.
Hilangnya gletser bukan hanya menjadi ancaman ekologis, tetapi juga merusak hubungan spiritual dan budaya masyarakat setempat.
Dengan ancaman yang semakin nyata, para ilmuwan menyerukan perlunya peningkatan penelitian, sistem pengamatan yang lebih baik, serta langkah-langkah mitigasi yang lebih serius untuk melindungi planet ini.
Kesadaran global dan aksi kolektif menjadi kunci dalam menghadapi krisis ini sebelum dampaknya semakin tidak terkendali.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]