"[Risikonya] sama seperti mengangkut migas, misal mengalami kebocoran atau ledakan walaupun sudah ada secara teknologinya memang. Tapi ini kan harus ditransportasikan, enggak mungkin disimpan saja," jelas Iqbal.
"Jadi kalau dia sudah diambil, masuk ke dalam storage-nya, itu harus dibuang kan? Nah kalau di teknologi ini, dia akan dibuang ke retakan-retakan bekas pengambilan minyak bumi sebelumnya, dengan harapan akan muncul gas dan source baru," ujarnya.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
Proses transportasi ini menurutnya butuh waktu. Misanya dari PLTU di Jateng atau Banten jika dibawa wilayah offshore di luar Indonesia biayanya mahal dan bahaya kalau meledak dan bocor.
Iqbal melihat Indonesia lebih perlu untuk menempatkan prioritas pemeliharaan hutan ketimbang harus menerapkan teknologi CCS yang tidak efektif.
Dalam hal itu, ia merujuk kepada diskusi para pemimpin internasional saat menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 atau Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, awal Desember lalu.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Menurut Iqbal, perbincangan mengenai penerapan teknologi CCS ini tidak kunjung menghasilkan titik temu. Alih-alih, para negara di Eropa, menurut Iqbal, lebih fokus untuk memperbincangkan proses mitigasi emisi.
"Jangankan Indonesia, negara-negara lain di Eropa misal, memang belum ada yang bisa benar-benar berhasil meng-capture emisi melalui teknologi CCS ini," tuturnya
"Di COP 28 Dubai kemarin, ini sempat diperbincangkan, tapi bahkan sampai di draft terakhir itu tidak berlanjut karena memang dianggap tidak efektif soal teknologi CCS ini," ujar Iqbal.