WahanaNews.co | Sebelumnya, lebaran Idulfitri 2023 mengalami perbedaan, terutama antara Pemerintah dan Muhammadiyah.
Meski sudah sering terjadi bertahun-tahun, perbedaan lebaran pada tahun ini dipanaskan isu intoleransi terutama oleh para influencer di media sosial.
Baca Juga:
Elektabilitas Pram-Rano Naik di Survei Jakarta, Pakar Ungkap Sebabnya
Penetapan Iduladha 2023 atau 10 Zulhijah 1444 Hijriah berpotensi mengalami perbedaan. Berikut analisis pakar, seperti melansir dari CNNIndonesia, Sabtu (3/6/2023).
Pada momen lebaran haji tahun ini, beda tanggal Iduladha pun diprakirakan terjadi akibat perbedaan metode penetapan.
Pemerintah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memakai kriteria imkan rukyat atau penampakan hilal atau bulan sabit tipis yang merupakan penanda bulan baru.
Baca Juga:
Terkait Akun Fufufafa, Pasukan Bawah Tanah Jokowi Adukan Roy Suryo ke Polisi
Patokannya adalah kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, yang disebut kriteria MABIMS, dalam menentukan awal bulan hijriah.
Syarat bulan baru dalam kriteria ini adalah ketinggian hilal 3º dan elongasi atau sudut Bulan-Matahari 6,4º.
Sementara, Muhammadiyah menganut wujudul hilal yang berarti cukup berdasarkan perhitungan rumus astronomi tertentu untuk memprediksi kemunculan bulan baru.
Versi MABIMS
Thomas Djamaluddin, pakar astronomi bagian dari tim hisab rukyat Kementerian Agama, memperkirakan Hari Raya Iduladha 2023 akan jatuh pada 29 Juni.
"Baik dengan kriteria MABIMS maupun kriteria Odeh (pakar astronomi) menunjukkan bahwa pada 18 Juni 2023, hilal tidak mungkin terlihat di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara secara umum," ujar dia, dalam blognya.
"Jadi 1 Dzulhijjah 1444 berdasarkan hisab imkan rukyat MABIMS pada 20 Juni 2023 dan Idul Adha pada 29 Juni 2022," imbuhnya.
Berdasarkan perhitungan Thomas, ketinggian hilal di Aceh pada saat magrib 18 Juni (29 Zulkaidah) hanya 2,1º.
"Tinggi tersebut terlalu rendah sehingga hilal yang sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih cukup kuat," tuturnya.
Walhasil, ia menyebut secara astronomis tidak mungkin ada kesaksian hilal pada 18 Juni.
"Sehingga bulan Dzulqa'dah digenapkan 30 hari dan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari berikutnya, yaitu 20 Juni. Dengan demikian Idul Adha diperkirakan pada 29 Juni."
Namun demikian, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini menyebut kepastian tanggal untuk Hari Raya Iduladha masih perlu menunggu Sidang Isbat.
Versi Muhammadiyah
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sendiri sudah jauh-jauh hari menetapkan tanggal Idulfitri dan Iduladha. Yakni, 21 April dan 28 Juni.
"Ada kemungkinan di bulan 1 Syawal atau Idul Fitri dan Idul Adha di 10 Zulhijah, perbedaan. Karena perbedaan metode yang dipakai," Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengakui, di kantornya, Kota Yogyakarta, Senin (6/2).
"Perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru, artinya kita sudah terbiasa dengan perbedaan lalu timbul penghargaan dan kearifan," ucapnya.
Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti menjelaskan penetapan itu berdasarkan pada metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal (kondisi peredaran Bulan, Bumi, dan Matahari yang sebenarnya), bukan hisab 'urfi (peredaran rata-rata).
Menurutnya, penetapan itu didasarkan pada proses ijtimak (Bumi, Bulan, dan Matahari berada pada posisi garis bujur yang sama, tanda satu putaran penuh) atau konjungsi yang terjadi pada pukul 11.39.47 WIB di Minggu Kliwon, 18 Juni 2023 atau 29 Zulkaidah 1444 H.
Saat itu, ketinggian bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta +01° 00` 25″. Dengan ketinggian tersebut, Sayuti menyebut posisi Bulan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu berada di atas ufuk.
"Karena itu, tanggal 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023. Hari Arafah atau 9 Zulhijah 1444 H jatuh pada hari Selasa Wage, 27 Juni 2023. Idul Adha atau 10 Zulhijah 1444 H jatuh pada hari setelah itu, yaitu Rabu Kliwon, 28 Juni 2023," urainya.
Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menekankan pihaknya tidak berlandaskan pada penampakan dalam hal penetapan awal bulan hijriah, tapi berdasarkan pada posisi geometris Matahari, Bumi, dan Bulan.
"Jadi posisinya, bukan nampak dan tidaknya," cetus dia.
[Redaktur: Alpredo]