WahanaNews.co | Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta
mengevaluasi beban tugas bagi siswaselama pembelajaran jarak jauh (PJJ), demi mencegah terulangnya kasus siswa bunuh diri sebagaimana terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu
(17/10/2020).
"Kejadian
bunuh diri oleh siswa di Kabupaten
Gowa ini
seharusnya menjadi alarm yang sangat keras kepada pemerintah dan dengan tegas
memperingatkan pemerintah bahwa masalah penugasan-penugasan ini adalah sesuatu
yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa," ungkap Ketua
Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim, melalui keterangan tertulis, Senin (19/10/2020).
Baca Juga:
Pantas Anggota DPR Ngamuk ke Nadiem, Ternyata 17 Sekolah di NTT Mangkrak 2 Tahun
Korban
bunuh diri adalah seorang siswa SMA di Gowaberinisial MI. Ia bunuh diri
dengan meminum racun rumput. Kejadian tersebut direkam olehnya melalui video
berdurasi 32 detik.
Ramli
menegaskan,
kasus seperti ini bukan yang pertama kali didapati pihaknya. Menurutnya,
banyak siswa yang mengalami stres akibat beban tugas yang masih memberatkan mereka di tengah PJJ.
Kekhawatiran
akan tugas yang menumpuk, katanya, kemudian makin diperparah oleh jaringan internet yang tidak memadai. Terlebih
dengan jumlah mata pelajaran di sekolah yang bisa mencapai belasan.
Baca Juga:
Meledak-ledak Saat Semprot Mendikbud Nadiem, Inilah Profil Anggota DPR Anita Jacoba
"Korban
bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya.
Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di
kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya
menumpuk," ujar dia.
Menurutnya,
kepala sekolah dan guru konseling seharusnya berperan dalam mengukur beban yang
dialami siswa ketika menerima banyak penugasan. Ia menyarankan guru memetakan
kemampuan siswa sebagai standar pemberian tugas.
Ia
mengatakan,
bantuan kuota juga tak bisa dijadikan satu-satunya solusi PJJ. Pemerintah
diminta mempertimbangkan kemampuan jaringan internet dan ketersediaan gawai di
daerah tersebut dan membantu kendala siswa yang kurang mampu.
"Pemerintah
tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa saja, tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi
pembelajaran di masa pandemi covid-19. Dan semua itu seharusnya diatur dan
dibuat standarnya oleh Kemdikbud," lanjutnya.
Komisioner
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti,
menjelaskan dugaan stres sebagai pemicu korban bunuh diri, berdasarkan hasil
pemeriksaan Polres Gowa. Dugaan ini diperkuat dari keterangan rekan sekolah
korban yang mengaku bahwa korban
sering bercerita soal tugas yang menumpuk dan kendala akses internet.
"Hal
ini penting diungkap.
Karena, jika terbukti motif bunuh diri karena masalah kendala PJJ, maka
perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari PJJ di Kabupaten Gowa oleh Dinas Pendidikan dan Pemerintah
Daerah," katanya, melalui keterangan tertulis.
Retno
pun menyarankan kegiatan konseling di sekolah harus digalakkan, khususnya selama pandemi. Konsultasi, katanya,
dapat dilakukan guru bimbingan konseling kepada siswa melalui pesan singkat
atau aplikasi komunikasi lainnya.
"Kerap
kali anak-anak hanya butuh didengar, ada saluran curhat selain ke sahabatnya.
Bisa juga ke guru BK dan wali kelas agar dapat diberikan solusi yang
tepat," ujarnya.
Ia
juga menegaskan agar peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mencegah depresi
pada anak. Terlebih di usia remaja, dimana anak rentan mengalami perubahan
suasana hati. Sehingga gejala depresi sering kali tertutup.
PJJ
masih berlangsung di sebagian besar sekolah. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mencatat,
PJJ
masih berlangsung di 1.840 sekolah di zona merah, 12.124 sekolah di zona
oranye, 6.238 sekolah di zona kuning dan 764 sekolah di zona hijau.
Sedangkan
bantuan kuota gratis masih berlangsung hingga Desember. Bulan September lalu,
kuota gratis diterima oleh 27.305.495 orang yang tersebar di 34 provinsi.
Jumlah
ini jauh dari jumlah total peserta didik dan pendidik yang tercatat di Data
Pokok Pendidikan, yakni 64.034.292 orang. Artinya, yang menerima bantuan kuota baru mencapai 42
persen.
Kendala
PJJ sendiri tak hanya terkait biaya kuota. Sejumlah siswa dan guru masih ada
yang mengeluhkan tak punya gawai ataupun jaringan yang sulit di daerah tempat
tinggalnya. [qnt]