KUHP 2023 dan doktrin hukum modern menjawab ini dengan tiga pendekatan yang sangat relevan untuk bisnis digital:
1.Teori Identifikasi (Directing Mind):
Jika seorang eksekutif senior (yang memiliki wewenang pengendali) memerintahkan manipulasi data transaksi elektronik, tindakan eksekutif tersebut dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.
Baca Juga:
Ngaku Anggota BNN, Pria Berpistol Peras Warga Rp 200 Juta di Riau
2.Teori Fungsional (Atribusi):
Ini yang paling berbahaya bagi bisnis digital. Jika seorang karyawan level bawah melakukan kejahatan siber (misalnya: data scraping ilegal), dan tindakan itu masuk dalam lingkup kerja korporasi serta menguntungkan korporasi, maka korporasi dianggap bertanggung jawab.
Contoh: Sebuah startup e-commerce membiarkan stafnya menjual data nasabah. Manajemen diam saja karena itu menambah revenue. Di sini, korporasi dapat dipidana.
3.Budaya Korporasi (Corporate Culture):
Jika sistem keamanan siber perusahaan sangat lemah atau SOP perusahaan secara implisit mendorong karyawan untuk mengambil jalan pintas yang melanggar hukum (misal: mematikan verifikasi KYC demi target user), maka "budaya" tersebut dianggap sebagai mens rea korporasi.
Kapan Korporasi Digital Dinyatakan Bersalah?
Baca Juga:
Hakim: Christiano Masih Muda, Korban Sudah Memaafkan
Berdasarkan KUHP 2023 Pasal 46-48, sebuah korporasi dalam transaksi elektronik dapat dipidana jika memenuhi unsur:
Tindak pidana dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain (mitra/vendor).
Tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup usaha korporasi.
Penting: Korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut.
Korporasi tidak melakukan langkah pencegahan (failure to prevent) atau membiarkan terjadinya tindak pidana.