WahanaNews.co | Wacana amendemen atau perubahan UUD 1945 dinilai terkait kepentingan elite politik lama yang ingin kembali berkuasa dengan cara instan.
Caranya, menghidupkan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) dalam rupa Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) agar membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga tertinggi hingga bisa memilih presiden.
Baca Juga:
Wakil Ketua Umum PAN Tolak Wacana Pemilihan Presiden Tidak Langsung
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dalam pidato sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pertengahan bulan lalu, mengatakan, amendemen perlu dilakukan dan berfokus pada penambahan wewenang lembaganya untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, pun mengapresiasi rencana itu sebagai langkah pembangunan Indonesia secara berkesinambungan.
Usai pidato tersebut, Bamsoet mengatakan bahwa kajian PPHN akan selesai di awal 2022.
Baca Juga:
Amien Rais Setuju UUD Diamendemen Lagi, Presiden Dipilih oleh MPR
Pembahasan terkait amendemen UUD"45 juga disebut sempat terjadi saat Jokowi mengundang jajaran pimpinan partai politik (Parpol) koalisi pendukung pemerintah pekan lalu.
Jauh sebelum itu, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sudah lebih dulu melempar wacana menghidupkan kembali GBHN.
PDIP bahkan menuangkan keinginan amendemen terbatas untuk menambah kewenangan MPR menetapkan GBHN dalam Rekomendasi Kongres V, di Bali, 10 Agustus 2019.
Saat isu ini mengemuka kembali, PDIP memilih menolak isu jabatan presiden tiga periode dan mempertimbangkan soal PPHN.
PPHN atau GBHN, yang pernah ditetapkan MPR di era Orde Baru, ditujukan untuk menjadi panduan pembangunan jangka panjang pemerintah lintas periode.
MPR, yang di masa lalu merupakan lembaga tertinggi negara meski secara riil dikendalikan oleh Presiden kedua RI, Soeharto, berhak menetapkan panduan itu serta memilih pasangan Presiden - Wakil Presiden.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkapkan, wacana amendemen yang mengemuka saat ini merupakan misi elite dengan tujuan politis jangka panjang.
Indikasinya, wacana ini baru disuarakan elite parpol ketika Pemilu 2019 sudah rampung.
"Ini bukan berasal dari publik pemilih, ini berasal dari kepentingan partai politik, sebabnya muncul setelah pemilu. Ini indikator yang tidak sehat menurut saya, karena pasti pembicaraannya semata-mata soal kepentingan politik," kata Feri, saat berbincang dengan wartawan, Selasa (31/8/2021).
"Faktanya, tidak ada di [kampanye] 2019 satu partai pun yang mengambil isu perubahan konstitusi. Lalu mereka terpilih, baru muncul ide perubahan konstitusi itu," tambah dia.
Senada, analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menerangkan, isu amandemen merupakan bagian dari cara politikus konservatif untuk meraih kembali kendalinya di tanah air.
"Politikus-politikus ini tidak ingin kehilangan bentuk kekuasaan yang model lama itu," ucap dia, saat dihubungi wartawan.
Feri Amsari menilai, memunculkan PPHN dalam UUD 1945 bisa membuat MPR menjadi lembaga tertinggi negara lagi seperti masa Orde Baru.
Nantinya, seluruh lembaga lain harus menjalankan program-programnya sesuai dengan PPHN.
"Jadi, MPR bisa katakanlah menegur semua lembaga, "Kenapa Anda tidak menjalankan amanat PPHN di bagian ini, bagian itu?". Konsekuensinya, mereka (MPR) akan kembali seperti dulu, menjadi lembaga tertinggi," jelas dia.
Akademisi Unand ini juga menduga, PPHN nantinya dapat menjadi dalil bagi MPR untuk menjadi mandataris konstitusi atau lebih jauh mengatasnamakan rakyat.
Efek jangka panjangnya, kata dia, bukan tak mungkin jika pemilihan presiden akan kembali menjadi wewenang dari MPR.
Hal tersebut, menurutnya, juga sering disiratkan oleh elite politik di Indonesia selama Jokowi menjabat Presiden.
"Ini kan ada indikasi-indikasi yang kemudian merangkaikan relasi antara kepentingan MPR dan elite politik saat ini," ujar dia.
Bahkan, bukan tak mungkin, jika usulan masa jabatan presiden tiga periode dapat diselundupkan dalam sejumlah format-format pemilihan Presiden baru mendatang jika PPHN tersebut dilaksanakan.
Meskipun, katanya, ada kepentingan yang berbeda antara pengusung masa jabatan tiga periode dan yang sekadar mendorong GBHN/PPHN.
Feri menyebut, amendemen itu digadang-gadang lantaran ada keresahan dari sejumlah figur politik, terutama yang memiliki elektabilitas rendah, terhadap konsep Pilpres langsung.
"Satu-satunya yang bisa diatur panggungnya untuk pemilihan Presiden adalah di MPR. Ada 711 anggota MPR yang siap menerima sesuatu untuk menentukan seseorang bisa jadi Presiden. Sangat mudah, dibandingkan dengan pemilihan langsung," cetus dia.
Hal tersebut berbeda dengan figur politik yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi seperti Jokowi.
"Itu sebabnya, mereka ingin menggoyang dari titik paling awal, simpul awal, yaitu mengembalikan kekuasaan MPR. Salah satunya [lewat] PPHN," ungkap dia.
Berdasarkan pemberitaan, saat ini muncul sejumlah politikus yang mempromosikan diri secara berlebih melalui media luar ruangan meski dalam sejumlah survei memiliki tingkat keterpilihan yang rendah.
Arif pun menilai, substansi amendemen UUD "45 yang berfokus pada penambahan wewenang MPR melalui PPHN tak lagi relevan.
Pasalnya, Indonesia tetap memiliki rencana pembangunan jangka panjang nasional (yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025) yang tetap mengikat Presiden.
Selain itu, ada perangkat penyeimbang dan pengawas eksekutif lewat DPR.
Feri menimpali, yang jadi masalah saat ini, bukanlah ketiadaan panduan sejenis GBHN.
Masalahnya, kata dia, adalah ketiadaan pengawasan dari DPR terhadap kepatuhan pemerintah dalam menjalankan panduan pembangunan jangka panjang maupun menengah.
"Saya tidak pernah mendengar DPR mempertanyakan soal apakah proyek-proyek pemerintah sesuai dengan RPJMN (raencana pembangunan jangka menengah nasional) atau tidak," ucapnya. [dhn]