WahanaNews.co | Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mengusulkan penambahan pasal tentang rekayasa kasus dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Hal itu disampaikan Arsul dalam rapat lanjutan Komisi III DPR dengan pemerintah yang diwakili Kemenkumham terkait RKUHP di kompleks parlemen, Rabu (9/11).
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng Tingkatkan Kesadaran dan Cegah Perundungan Siswa Lewat Diseminasi HAM
Arsul mengatakan, usulan pasal tersebut akan memberikan ancaman bagi penegak hukum yang merekayasa kasus hingga membuat alat bukti palsu agar seolah-olah terjadi tindak pidana.
"Membuat atau memalsukan alat bukti yang dengan alat bukti itu seolah-olah seseorang melakukan tindak pidana maka yang membuat tersebut dengan ancaman pidana," kata dia.
Arsul mengaku usulan tersebut berangkat dari masukan yang diterima pihaknya oleh masyarakat yang mengaku menjadi korban rekayasa kasus aparat penegak hukum. Rekayasa kasus tersebut menurutnya, umumnya terjadi dalam kasus narkoba.
Baca Juga:
Hotman Paris Tantang Menteri HAM: Cukup Ponsel untuk Layani Rakyat, Bukan Rp 20 Triliun
Menurut dia, hingga saat ini tidak ada undang-undang atau aturan hukum yang mengatur rekayasa kasus seperti demikian. Dia karena itu mengusulkan agar hal itu diatur dalam RKUHP.
"Sederhananya kira-kira suka ada keluhan tidak terjadi tindak pidana narkotika, tapi narkotiknya ditaruh di mobil dilempar atau di mana gitu loh," katanya.
Dalam usulannya, ia meminta agar setiap orang yang melakukan rekayasa kasus atau membuat bukti palsu bisa dipidana hingga lima tahun. Sementara, jika hal itu dilakukan aparat penegak hukum dipidana hingga tujuh tahun.
Arsul juga mengusulkan ancaman lebih berat hingga 10 tahun, jika tindakan tersebut dimaksudkan agar seseorang menjadi bersalah.
"Apabila perbuatan sebagaimana ayat (2) dilakukan dengan tujuan agar seseorang yang seharusnya tidak bersalah menjadi dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dengan maksud agar seseorang yang akan diadili dalam proses peradilan pidana mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun," katanya.
Rapat Komisi III dengan Kemenkumham yang dipimpin Wakil Menteri Eddward Omar Sharif Hiariej menyerahkan naskah perubahan RKUHP hasil masukan dari sejumlah masyarakat sipil.
Eddy, sapaan akrabnya, mengatakan ada 69 item perubahan dan penghapusan terhadap lima pasal di dalam draf terbaru RKUHP per 9 November tersebut.
Sementara itu, di tempat terpisah Menkumham Yasonna H Laoly menyampaikan isu Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat atensi dari dunia internasional yakni dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) yang digelar pada 9-11 November 2022 di Jenewa, Swiss.
Yasonna menyampaikan, ada negara-negara yang mengapresiasi dan di sisi lain, ada pula yang memberikan rekomendasi kritis terhadap keputusan itu.
"Berbagai kemajuan upaya pemenuhan HAM mendapat apresiasi dari negara lain, misalnya dalam hal komitmen untuk terus memajukan capaian peranan kita memperluas akses kesehatan dan pendidikan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan, hingga dalam upaya merevisi KUHP,"" ujar Yasonna melalui konferensi pers virtual, Rabu (9/11).
Dia mengatakan revisi KUHP ini juga menjadi salah satu rekomendasi kritis yang disampaikan negara lain terhadap Indonesia.
"Namun demikian kita juga mencatat bahwa sejumlah rekomendasi yang kritis telah disampaikan kepada kita di antaranya isu hukuman mati, isu ratifikasi opsional protokol konvensi anti penyiksaan, revisi KUHP, isu kebebasan beragama dan berekspresi, isu perlindungan terhadap hak wanita anak dan disabilitas, serta isu Papua," kata dia.
Menyikapi rekomendasi kritis tersebut, menurut Yasonna, pihaknya tidak berkecil hati dan menempatkannya sebagai refleksi ke depannya.
"Tentunya hal ini tidak perlu disikapi dengan berkecil hati, catatan penting tersebut akan ditempatkan sebagai refleksi untuk terus meningkatkan pembangunan kita dan melakukan koreksi lebih lanjut guna meningkatkan kualitas pembangunan secara merata," tegas dia.
Yasonna menggambarkan, sebagaimana yang terjadi pada 2017 lalu, terdapat sebanyak 225 rekomendasi UPR yang masuk ke Indonesia. Dan, katanya, pemerintah RI hanya mendukung sebanyak 167 rekomendasi saja.
Untuk diketahui, saat ini, Yasonna tengah memimpin delegasi Indonesia mengikuti Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB pada tanggal 9 -11 November 2022 untuk memberikan laporan capaian pemenuhan HAM.[zbr]