WAHANANEWS.CO, Jakarta - Disahkannya KUHAP Baru menjadi sorotan utama dalam Webinar Nasional bertema “Telaah Kritis Judicial Scrutiny dalam KUHAP Baru: Menghindari Legitimasi Praktik Kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum” yang digelar IMMH-UI pada Sabtu (22/11/2025).
Para akademisi dan peneliti menilai regulasi baru tersebut masih menyimpan celah kriminalisasi serta potensi pelanggaran HAM apabila tidak disertai penguatan mekanisme pengawasan hakim.
Baca Juga:
Alatan Indonesia Bocorkan Cara UMKM Masuk Proyek Pemerintah Lewat TKDN
Acara yang berlangsung secara virtual dari Kampus FHUI itu menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Prof. Syahlan, dan Girlie Aneira. Ketiganya menekankan perlunya judicial scrutiny yang efektif agar kewenangan aparat tidak berubah menjadi praktik sewenang-wenang.
Webinar dimulai pukul 09.00 WIB melalui fasilitas Zoom diawali dengan sambutan disampaikan Ketua IMMH UI.
Prof. Harkristuti Harkrisnowo sebagai pemateri pertama menyampaikan paparannya Ia menegaskan bahwa perubahan KUHAP harus diikuti instrumen pengawasan yang kuat demi mencegah penyalahgunaan kewenangan penegak hukum. “Tanpa penguatan mekanisme judicial scrutiny, KUHAP Baru berisiko membuka ruang kriminalisasi karena upaya paksa dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa filter yudisial yang memadai,” ujarnya.
Baca Juga:
OJK Segera Luncurkan Aturan Turunan UU P2SK
Sesi berikutnya diisi Prof. Syahlan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung. Ia menilai perluasan tindakan upaya paksa dalam KUHAP tidak otomatis menjamin perlindungan hak warga negara.
“Dengan perluasan upaya paksa dan kewenangan aparat, RUU KUHAP tetap menyimpan potensi pelanggaran HAM ketika mekanisme pengawasan dan batasan tindakan sewenang-wenang belum ditegaskan secara efektif,” kata Syahlan.
Materi terakhir disampaikan peneliti ICJR, Girlie Lipsky Aneira, menyoroti kewenangan penyidik yang semakin luas, mulai dari penahanan hingga penyadapan, yang dinilai rentan tanpa pengawasan hakim secara ketat.