WahanaNews.co | Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, bersama Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan),
mendorong agar pembahasan RUU Otonomi Khusus Papua bisa turut mendukung
pengentasan penyebaran HIV-AIDS.
Kementerian Kesehatan, pada 29 Mei 2020, mencatat,
Provinsi Papua menduduki peringkat 3 nasional kasus HIV-AIDS dengan total
mencapai 60.606 kasus.
Baca Juga:
Uji Kelayakan Capim KPK: Bamsoet Soroti Politik Biaya Tinggi dengan Korupsi
"Komnas Perempuan menilai, perempuan merupakan korban
penyebaran HIV-AIDS akibat ketidakmampuan mereka mencegah penularannya,
mengingat sebagian besar perempuan yang menderita HIV-AIDS merupakan ibu rumah
tangga yang tertular dari suami mereka. Karena itu, negara melalui RUU Otonomi
Khusus perlu memberikan dukungan dan perlindungan terhadap perempuan. Negara
juga perlu mengendalikan penyebaran HIV-AIDS di berbagai daerah lainnya,
sehingga perempuan di berbagai daerah tak lagi menjadi korban," ujar Bamsoet,
usai menerima Komnas Perempuan, di ruang kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Senin
(16/11/2020).
Komisioner Komnas Perempuan yang hadir, antara lain,
Ketua Andy Yentriyani, Wakil Ketua Olivia Salampessy, Ketua Tim Advokasi
Kelembagaan Maria Ulfah Anshor, Ketua Sub Komisi Pemulihan Theresia Iswarini,
dan Ketua Gugur Kerja Perempuan dalam Kebhinekaan Imam Nahei.
Ketua DPR RI ke-20 ini juga menyoroti masih tingginya
tingkat kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Pada tahun 2019 saja,
Komnas Perempuan mencatat ada 431.471 kasus, meningkat dibanding tahun 2018
dengan 416.178 kasus. Kekerasan terhadap perempuan terbagi dalam ranah pribadi,
ranah komunitas, dan ranah negara. Ranah pribadi, misalnya kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) yang mencapai angka 75 persen (11.105 kasus). Sementara di
ranah komunitas/publik dengan persentase 24 persen (3.602 kasus), dan terakhir
di ranah negara dengan persentase 0,1% (12 kasus).
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
"Contoh kekerasan terhadap perempuan di ranah pribadi (KDRT),
antara lain, kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Sementara di ranah
publik/komunitas, antara lain, pencabulan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.
Sementara di ranah negara, antara lain, penggusuran, intimidasi kepada jurnalis
perempuan ketika melakukan liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan,
kasus pinjaman online, hingga tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang,"
sorot Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini juga mendorong
aparat penegak hukum mewaspadai sindikat internasional perdagangan orang, yang
membuat perempuan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Komnas Perempuan
mencatat, setidaknya ada 7 bentuk perdagangan perempuan yang terjadi di
Indonesia, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Antara lain sebagai
pekerja domestik, pengemis, pengedar napza (obat adiktif), penerja non-domestik
dengan kondisi kerja yang sangat buruk, pekerja seks, pemuas pedofil, bahkan
sebagai pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan
dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
memperlihatkan, selama Januari 2019 hingga Juni 2020, terdapat 155 kasus tindak
pidana perdagangan orang dengan 195 korban perempuan dan anak.
"Perdagangan orang merupakan salah satu wujud
pelanggaran HAM. Indonesia sudah mempunyai dasar hukum untuk mencegahnya, yakni
melalui UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Tinggal aparat hukum lebih masif menindaknya," kata Bamsoet. [qnt]