WahanaNews.co, Jakarta - Kantor hukum Visi Law Office menerima kuasa dari 11 kepala daerah yang mengajukan uji materi atau judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Koordinator Tim Hukum Visi Law Office Donal Fariz menjelaskan pengujian pasal tersebut berkaitan dengan desain keserentakan Pilkada 2024 yang bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Desain keserentakan itu disebut telah merugikan sebanyak 270 kepala daerah, terutama mengenai masa jabatan para kepala daerah yang terpangkas secara signifikan.
Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai 49,5 persen dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia.
"Para kepala daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 kepala daerah yang terdampak dan mengungkapkan setidaknya terdapat tujuh persoalan dari desain keserentakan Pilkada 2024 yang diatur dalam pasal-pasal yang diuji oleh para pemohon," ujar Donal melalui siaran persnya, Jumat (26/1/2024) mengutip CNN Indonesia.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Sebelas kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon yaitu Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Wali Kota Makassar, Wali Kota Bontang, dan Wali Kota Bukittinggi.
Adapun bunyi pasal-pasal yang diuji tersebut adalah:
Pasal 201 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016:
"Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024."
Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016:
"Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024."
Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016:
"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024."
Donal mengungkapkan para pemohon mempunyai argumentasi yang berbeda dari permohonan pemohon lain sebelumnya. Ia beranggapan pembentuk Undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat implikasi teknis atas pilihan Pilkada serentak nasional 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.
Atas seluruh argumentasi yang dijelaskan secara detail dalam permohonan, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.
Pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.
"Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke MK tersebut," ungkap Donal.
[Redaktur: Alpredo Gultom]