WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila menyatakan dukungan penuh terhadap pembentukan Dewan Kehormatan Pusat Bersama (DKPB) yang digagas sejumlah organisasi advokat di Tanah Air.
Langkah ini dinilai sebagai upaya penting dalam menjaga integritas dan martabat profesi advokat di Indonesia.
Baca Juga:
BPPH Pemuda Pancasila Dukung Revisi UU Advokat demi Kepercayaan Publik dan Kualitas Pengacara Indonesia
Ketua BPPH Pemuda Pancasila, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pembentukan DKPB merupakan respons yang tepat atas insiden di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (6/2/2025) lalu.
“Profesi advokat adalah pilar utama dalam penegakan hukum. Namun, insiden yang terjadi di persidangan baru-baru ini menunjukkan adanya pelanggaran kode etik yang mencoreng profesi ini. Oleh karena itu, keberadaan DKPB sangat diperlukan agar tindakan seperti ini tidak terulang,” ujar Tohom.
Sebagaimana diketahui, persidangan perkara dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Hotman Paris Hutapea (HPH) sebagai pelapor dan Razman Arif Nasution (RAN) sebagai terdakwa berubah menjadi ricuh.
Baca Juga:
BPPH Pemuda Pancasila Ucapkan Selamat atas Penyelenggaraan Kongres Nasional IV KAI yang Dihadiri 35 DPD di Bandung
Ketika HPH duduk di kursi saksi pelapor, RAN mendekatinya secara agresif, memicu kegaduhan yang diperparah dengan tindakan oknum advokat lainnya yang naik ke meja di ruang sidang.
“Profesi advokat adalah pilar utama dalam penegakan hukum. Namun, insiden yang terjadi di persidangan baru-baru ini menunjukkan adanya pelanggaran kode etik yang bisa menodai citra profesi. Ini juga mengindikasikan urgensi penegakan kode etik yang lebih ketat,” lanjut Tohom.
DKPB yang digagas berbagai organisasi advokat bertujuan untuk menegakkan Kode Etik Advokat Indonesia secara lebih efektif.
Dengan adanya DKPB, advokat yang terbukti melanggar kode etik saat menjalankan tugas profesinya dapat diberikan sanksi mulai dari teguran, pemberhentian sementara, hingga pencabutan status sebagai advokat.
Langkah ini diyakini dapat memperkuat pengawasan terhadap perilaku advokat serta meningkatkan kualitas profesi secara keseluruhan.
Tohom, yang juga Ketua Bidang Perlindungan Konsumen Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia dan Ketua Umum Persatuan Pengacara Perlindungan Konsumen Indonesia (Perapki), menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan advokat yang tidak hanya cakap, tapi juga berintegritas tinggi.
“Masyarakat menaruh harapan besar pada advokat untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, kepatuhan pada kode etik adalah fondasi penting bagi tegaknya hukum yang berkeadilan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tohom menyerukan dukungan penuh dari seluruh advokat Indonesia terhadap pembentukan DKPB sebagai garda terdepan dalam menjaga kehormatan profesi.
“Ini bukan sekadar menjaga nama baik profesi, tapi juga memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap pembelaan yang jujur dan bertanggung jawab,” pungkasnya.
Selain itu, Tohom juga menyoroti pentingnya sistem multi-bar dalam organisasi advokat sebagai tuntutan zaman yang tak bisa dihindari.
“Sebaiknya pemerintah mengakui perkembangan zaman ini dengan mensahkan sistem multibar organisasi advokat melalui pembuatan regulasi baru yang bersifat mengikat. Karena, kehadiran sistem multi-bar sudah menjadi tuntutan zaman yang tak lagi bisa dihindari,” kata Tohom.
Ia mencontohkan sejumlah organisasi profesi yang sudah mulai meninggalkan asas single-bar.
“Contoh paling mudah tentu adalah organisasi insan pers. Dulu, di era Orde Baru, PWI ditetapkan sebagai wadah tunggal para wartawan. Kini, sejak memasuki era Reformasi, PWI tak lagi jadi pemain tunggal dalam mengorganisasikan para jurnalis,” katanya.
Selain menjawab tuntutan zaman yang memang sudah berubah, tambah Tohom, asas multi-bar bisa sekaligus menyelamatkan profesi advokat dari ancaman oligarki, pemusatan tongkat komando, dan penyeragaman arah keadilan sehingga tak lagi dinamis.
“Yang harus tunggal itu adalah regulatornya, seperti misalnya penyusun dan pengawas pelaksanaan kode etik. Sementara operatornya, para pelaksana regulasi tersebut, tak harus dicemplungkan semuanya ke dalam satu wadah wajib yang berpotensi menghilangkan dinamika,” beber Tohom.
Ia khawatir, bila konflik soal sistem bagi organisasi advokat itu terus berlanjut tanpa jelas lagi ujung-pangkalnya, bakal muncul kesan bahwa pemerintah kurang responsif terhadap perkembangan zaman.
“Padahal, dunia hukum, termasuk di dalamnya terminologi pencarian keadilan, adalah ilmu. Jadi, sifatnya sangatlah dinamis, tidak statis,” tandasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]