WahanaNews.co, Jakarta - M. Sholeh Amin, pengacara yang mewakili mantan Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, menyangkal dan menjelaskan dugaan penyuapan serta gratifikasi terhadap Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, yang juga dikenal sebagai Eddy Hiariej.
Amin menyatakan bahwa peristiwa tersebut sebenarnya hanyalah bentuk pemerasan yang dilakukan oleh Eddy Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM terhadap kliennya, Helmut Hermawan, yang menjadi korban dalam kasus ini.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Suap Eks Wamenkumham Eddy Hiariej KPK Tegaskan Tetap Proses
"Klien kami sebagai korban mengadukan kepada Indonesia Police Watch atas dugaan pemerasan dengan ancaman, pemaksaan, dan menakut-nakuti yang dilakukan oleh Wamenkumham EOS," kata Sholeh, melansir VIVA, Sabtu (11/11/2023).
"Atas pengaduan itu, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso selanjutnya melaporkan hal itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Maret 2023 lalu," sambungnya
Sholeh lantas menceritakan awal mula perkenalan antara kliennya dengan Eddy. Menurut dia, kedua orang itu diperkenalkan oleh Anita Z, seorang pengacara yang juga merupakan teman sekampung Eddy
Baca Juga:
Soal Penetapan Tersangka Eddy Hiariej Tidak Sah, Menkumham Angkat Suara
Perkenalan tersebut, lanjut Sholeh, bertujuan untuk berkonsultasi dan meminta perlindungan hukum sekaligus menanyakan mengenai perkara pidana yang dihadapi oleh Helmut Hermawan(HH), Thomas Azali (TA) (pemilik 97,5 persen PT APMR yang memiliki 85 persen saham PT CLM), Emanuel Valentinus Domen (EVD) (Dirut PT APMR) melawan pihak Aserra Capital (Apexindo Group).
Hasilnya, berdasarkan analisa dan pendapat dari Eddy, perkara tersebut dinyatakan bukan merupakan tindak pidana melainkan kasus perdata.
Atas hasil konsultasi tersebut, terang Sholeh, Eddy lalu menunjuk asisten stafnya yang bernama Yogi sebagai penghubung untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak TA, HH, dan EVD dalam menangani masalah yang dihadapi.
Eddy juga merekomendasikan seorang pengacara yang bernama Yosi, mantan mahasiswa Eddy, kepada TA, HH, EVD untuk menangani perkara yang dihadapi dan membantu permasalahan yang sedang bergulir di Badan Reserse Kriminal, Mabes Polri.
"Dikarenakan sebagai pejabat negara EOS (Eddy) tidak dapat terlibat dan membantu secara langsung," kata Sholeh.
Iming-iming SP3
Sholeh menuturkan, Eddy mengarahkan Helmut untuk konsultasi kepada Yosi selaku pengacara perusahaan. Selanjutnya, Yosi pada pertemuan yang berbeda menjelaskan bahwa jasa hukum yang akan diberikan kepada Helmut Hermawan tidak gratis dan biayanya adalah sebesar Rp 4 milliar.
"Karena nominal jasa hukum yang ditawarkan yang cukup besar, klien kami yang saat itu sebagai Direktur Utama dari PT Citra Lampia Mandiri, harus meminta persetujuan TA, selaku pemilik perusahaan dan merangkap Direktur Keuangan, dan EVD selaku Dirut dari PT APMR, holding yang memiliki 85 persen saham di PT CLM," kata Sholeh.
Selanjutnya, atas persetujuan bersama, PT CLM lalu mengirimkan lawyer fee atau biaya jasa hukum sebesar Rp 4 miliar. Uang itu dikirim dua kali, pada 27 April 2022 sejumlah Rp 2 miliar dan pada 17 Mei 2022 sejumlah Rp 2 miliar.
Sholeh menyoroti bahwa Helmut Hermawan, TA, dan EVD diminta dengan inisiatif sendiri untuk memberikan sejumlah uang sekitar Rp 3 miliar dalam bentuk Dolar Singapura, sekitar SGD235.000.
Permintaan ini disertai dengan janji untuk mengeluarkan SP3 kedua terkait masalah di Bareskrim.
Sholeh menjelaskan bahwa jika uang tersebut tidak diserahkan, maka status tahanan dalam penangguhan akan dicabut, dan klien mereka bersama TA dan EVD dapat ditahan kembali.
Dia menegaskan bahwa Yogi dan Yosi, yang diklaim memiliki hubungan dekat dengan seorang petinggi di Bareskrim Polri, menyatakan bahwa Eddy memiliki kedekatan tersebut.
Sholeh juga mengklaim bahwa atas desakan dan ancaman akan penahanan kembali, TA sebagai pemilik perusahaan bersama EVD sebagai Direktur Utama PT APMR akhirnya setuju untuk memberikan tambahan uang sebesar Rp 3 miliar tersebut.
Gratifikasi Rp 8 Miliar
Sholeh melanjutkan, pada 18 Oktober 2022, permintaan uang kembali terjadi. Diterangkannya, Wamenkumham Eddy secara proaktif melalui Yogi meminta sejumlah uang kepada PT APMR/CLM untuk promosi dan menyelenggarakan acara pemilihan dirinya sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).
Mulanya, dalih Sholeh, PT CLM menolak untuk memenuhi permintaan itu. Namun, Eddy melalui Yogi terus mendesak agar PT CLM memberikan uang.
Atas jabatan yang dimilikinya selaku Wamenkumham dan ancaman bahwa SP3 yang dijanjikannya tidak akan diterbitkan, maka TA dan EVD menyetujui dan menginstruksikan staf perusahaan untuk memberikan uang sejumlah Rp 1 miliar.
Dengan demikian, total uang yang diminta Eddy Hiariej melalui perantara stafnya berjumlah total Rp 8 miliar.
Menurut Sholeh, bukan cuma permintaan uang miliaran yang dilakukan oleh Eddy dengan bantuan kedua stafnya, namun Wamenkumham juga pernah turut memaksa dan meminta para Direksi PT APMR untuk menyerahkan 12,5 persen saham tambang PT CLM untuk dirinya dan 12,5 persen saham untuk seorang mantan Menteri Sosial dan 45 persen untuk PT Aserra Capital.
"Dengan ancaman apabila tidak diberikan maka klien kami, TA, dan EVD akan diselesaikan, dipidanakan, ditahan serta diambil perusahaannya. Namun klien kami dan TA dan EVD menolak permintaan tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej telah dinyatakan menjadi tersangka dalam dugaan kasus gratifikasi.
Penetapan tersangka Eddy itu didasari lewat surat perintah penyidikan yang ditandantangani pimpinan KPK sejak dua minggu lalu.
"Itu sudah kami tanda tangani sekitar 2 minggu yang lalu dengan 4 orang tersangka dari pihak penerima 3 pemberi satu," kata dia.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej dilaporkan Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso pada Selasa 14 Maret 2023 ke KPK terkait dugaan menerima gratifikasi Rp 7 miliar.
Mengenai hal tersebut, Eddy Hiariej menyatakan bahwa dia tidak merasa perlu memikirkan serius laporan IPW terkait dugaan gratifikasi sebesar Rp 7 miliar kepada KPK.
Dalam konfirmasinya kepada media pada tanggal 14 Maret 2023, Eddy mengatakan, "Saya tidak perlu merespons dengan serius terhadap aduan Sugeng (Ketua IPW) kepada KPK karena inti permasalahannya adalah hubungan profesional antara asisten saya, YAR, dan YAM sebagai pengacara dengan kliennya, Sugeng."
Eddy kemudian menyerahkan proses klarifikasi masalah ini kepada dua asistennya, YAR dan YAM, sebagaimana dilaporkan oleh Ketua IPW.
Dia menyatakan ketidakineterlibatannya dan membantah menerima uang yang dituduhkan, dengan menambahkan, "Silakan konfirmasi lebih lanjut kepada YAR dan YAM yang disebutkan oleh Sugeng dalam pengaduannya. Saya tidak pernah menerima satu sen pun."
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]