WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dewan Pers menilai langkah Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan judicial review Pasal 8 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inisiatif yang tepat untuk memperjelas perlindungan hukum bagi jurnalis, Sabtu (6/9/2025), Anggota Dewan Pers Abdul Manan menyampaikan hal ini dalam diskusi publik Iwakum di Jakarta.
"Saya melihat bahwa yang dilakukan Iwakum dengan JR Pasal 8 itu inisiatif yang baik karena mencoba memperjelas tafsir dari Pasal 8 yang memang sangat multitafsir," ujar Manan.
Baca Juga:
Persoalkan Aturan Nikah Beda Agama, Pemohon Dinasihati MK
Manan menekankan bahwa Pasal 8 dan penjelasannya masih multitafsir karena hanya menyebutkan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum, namun bentuk perlindungan seperti apa masih sangat abstrak.
"Karena terlalu abstrak, orang tidak langsung memahami bahwa perlindungan itu harusnya dilakukan oleh polisi ketika wartawan dihalang-halangi, dilarang bersiaran, atau alat kerjanya dirampas," kata Manan.
Ia menambahkan, ironisnya, di lapangan aparat kepolisian terkadang bersikap represif, bukan melindungi, bahkan diduga melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Baca Juga:
Pasangan Nikah Beda Agama Bersaksi di MK: Saya Senang
"Saya berharap hakim MK punya keberanian memberikan tafsir lebih detil dari apa yang ada di Pasal 8, agar lebih jelas bagi aparat penegak hukum dan negara tentang langkah yang harus dilakukan untuk melindungi wartawan," imbuh Manan.
Sebelumnya, Iwakum mengajukan judicial review terhadap Pasal 8 dan penjelasannya ke MK melalui tim hukum yang terdiri dari Viktor Santoso Tandiasa, Nikita Johanie, Raihan Nugroho, Agustine Pentrantoni Penau, dan Didi Supandi.
Viktor menjelaskan, rumusan norma perlindungan hukum dalam Pasal 8 UU Pers masih multitafsir dan tidak menjelaskan secara rinci perlindungan yang diberikan pemerintah dan masyarakat kepada wartawan.
Menurut dia, ketidakjelasan tafsir ini membuka celah kriminalisasi dan gugatan perdata terhadap wartawan atas karya jurnalistiknya.
Dalam permohonannya, Iwakum meminta MK menyatakan Pasal 8 UU Pers dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers.
"Atau, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers," kata Viktor.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]