WahanaNews.co, Jakarta - Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sanksi etik terhadap Ketua nonaktif KPK, Firli Bahuri.
Firli dikenai sanksi etik berat setelah Dewas KPK menyampaikan keputusan tersebut di kantor mereka di Jakarta pada Rabu (27/12/2023).
Baca Juga:
Komisi III DPR RI Rampungkan Uji Capim KPK, Siap Masuki Tahap Akhir
Pada kesempatan tersebut, Dewas KPK mengajukan permintaan agar Firli mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pimpinan KPK.
Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, menyatakan, "Dewan Pengawas KPK menyatakan bahwa setelah melalui pemeriksaan, Firli Bahuri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap kode etik."
Sanksi etik yang diberlakukan oleh Dewas KPK menjadi langkah serius sebagai respons terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh Firli Bahuri.
Baca Juga:
Revisi UU KPK Hingga Lift Khusus Pimpinan, Disorot Capim Asal Jaksa-Polisi
"Sanksi berat berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri," sambungnya.
Pelanggaran etik Firli ini terkait pertemuannya dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang kini berstatus tersangka dugaan korupsi yang ditangani KPK.
Dewas KPK menyatakan Firli membenarkan bahwa foto yang menunjukkan pertemuan antara Firli dengan SYL di GOR bulu tangkis di Mangga Besar pada 2 Maret 2022.
Dewas mengatakan Firli disebut mengaku pertemuan itu tidak direncanakan. Firli juga disebut mengaku tidak menerima apa pun dari SYL lewat ajudannya.
Namun Dewas mengungkap fakta bahwa pimpinan KPK telah memberikan disposisi penyelidikan terbuka terkait dugaan korupsi pengadaan sapi di Kementan yang diduga melibatkan anggota DPR pada 29 April 2021.
Dewas mengatakan Firli kemudian berkomunikasi dan mengatur pertemuan dengan SYL dan Irwan Anwar pada 23 Mei 2021.
Dewas juga mengungkap Firli masih melakukan komunikasi dengan SYL pada September 2023 atau sesudah kasus suap dengan tersangka SYL naik ke penyidikan.
Firli disebut tidak memberi tahu soal semua pertemuan dan komunikasinya dengan SYL kepada pimpinan KPK lain. Firli disebut baru memberi tahu soal pertemuan di lapangan bulu tangkis usai fotonya viral.
"Terperiksa mempunyai kesempatan menolak atau tidak berkomunikasi dengan tidak menanggapi pesan Syahrul Yasin Limpo, namun terperiksa tidak melakukan hal itu. Bahkan terperiksa beberapa kali aktif menghubungi saksi Syahrul Yasin Limpo," ucapnya.
Dewas mengatakan Firli terbukti melakukan hubungan dengan SYL yang merupakan pihak yang perkaranya ditangani oleh KPK.
"Terbukti sah melakukan hubungan langsung atau tidak langsung dengan saksi Syahrul Yasin Limpo yang perkaranya sedang ditangani KPK," sambungnya.
Selain itu, Dewas memaparkan soal penyewaan rumah oleh Firli di Jalan Kertanegara senilai Rp 645 juta per tahun. Dewas mengatakan Firli mengaku sudah menyewa rumah itu selama 3 tahun. Dewas mengatakan Firli mengaku tidak memasukkan rumah itu ke LHKPN karena bukan aset miliknya.
Namun Dewas tak sependapat dengan Firli. Dewas KPK mengatakan pengeluaran untuk pembayaran sewa itu dilaporkan dalam LHKPN.
Dewas juga mengungkap Firli dan keluarganya telah beberapa kali menempati rumah di Kertanegara itu saat masih berstatus disewa oleh Alex Tirta. Dewas juga menyebut Firli meminta agar Alex Tirta memasang internet sebelum dirinya resmi menyewa rumah itu. Dewas pun menganggap hal itu tidak pantas dilakukan.
Dewan Pengawas (Dewas) juga memberikan penjelasan terkait uang asing sebesar Rp 7,5 miliar yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Dewas menyatakan bahwa Firli Bahuri memberikan alasan bahwa uang tersebut bukan gratifikasi dan diterima sebelum menjabat sebagai Ketua KPK.
Firli mengklaim uang tersebut diperoleh dalam pelaksanaan tugas di luar negeri saat bertugas di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dewas menjelaskan bahwa Firli Bahuri tidak melaporkan proses penukaran uang asing ke dalam rupiah dalam LHKPN, yang seharusnya dilaporkan dalam bagian kas.
Dewas menekankan bahwa seharusnya Firli melaporkan mata uang asing tersebut sebagai bagian dari kewajibannya.
Selain itu, Dewas juga menyoroti ketidaklaporan harta kekayaan atas nama istrinya, seperti apartemen dan beberapa bidang tanah, dalam LHKPN.
Dewas mengungkapkan bahwa Firli telah mengisi LHKPN dengan tidak jujur, sementara sebelumnya ia selalu meminta data kepatuhan LHKPN dari pejabat di daerah sebelum melakukan perjalanan dinas ke daerah tersebut.
Firli Bahuri dihadapkan pada sejumlah hal yang memberatkan. Selain tidak mengakui perbuatannya, Firli juga tidak hadir dalam sidang kode etik tanpa alasan yang sah, memberikan kesan perlambatan persidangan, dan pernah terkena sanksi etik sebelumnya.
Dewas menegaskan bahwa tidak ada faktor yang dapat meringankan posisi Firli dalam kasus ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]