WahanaNews.co | Meskipun sedang ribut di Natuna Utara, namun Indonesia dan China tetap menjalin hubungan baik.
Indonesia mau diakui atau tidak saat ini sudah mengoperasikan berbagai alutsista buatan China.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
China sendiri juga menawarkan alutsistanya kepada Indonesia.
Contoh senjata buatan China yang sudah dibeli Indonesia antara lain, rudal C 705 dan C 802, meriam anti serangan udara Giant Bow, drone CH-4 Rainbow, hingga manpads QW-3.
China sendiri sebenarnya selalu menawarkan alutsistanya kepada Indonesia.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Mulai dari kendaraan lapis baja, kapal perang hingga jet tempur, semua ditawarkan ke Indonesia.
Tapi Indonesia masih berpikir membeli secara masif alutsista negeri Tirai Bambu.
Pasalnya alutsista China belum terbukti sama sekali di pertempuran. Bahkan lebih banyak alutsista China yang dinilai KW karena menjiplak mentah-mentah barang Rusia.
Jika ditilik inventori alutsista China, hampir 90 persen identik dengan buatan Rusia. Mulai dari J-11D yang menjiplak Su-35, hingga J-15 yang menjiplak Su-30.
Bahkan kapal induk China, Liaoning dan Shandong juga memakai teknologi Uni Soviet. Jangan kira Rusia rela teknologinya diembat begitu saja oleh China.
Mereka marah-marah China menyerobot hak patennya.
Kasus J-11D lebih parah dimana China mengklaim jet tempur buatannya itu lebih canggih dari Su-35 Rusia.
Rusia tak terima dengan hal ini dimana mereka lantas memutuskan lebih berhati-hati menjual barang ke China.
Memang diakui saat ini visi militer China satu langkah lebih maju dibanding Rusia.
Industri pertahanan China sangat maju sehingga militernya tak perlu susah payah impor dari negara lain.
Bahkan sanksi CAATSA Amerika Serikat (AS) tak bakal mempan bila dijatuhkan ke China.
China juga sudah dijatuhi sanksi AS karena membeli Su-35 dari Rusia.
Tapi sanksi itu bak gigitan nyamuk, tak kerasa lantaran industri pertahanan China sudah mandiri sehingga embargo bukan sebuah ancaman.
Industri pertahanan China mulai maju sejak pemerintahan PM Deng Xiaoping.
Deng merumuskan sebuah paket percepatan ekonomi dengan julukan Shenzhen Express.
Paket ekonomi yang mengundang investor asing menanamkan modalnya ke China membuat pertumbuhan negeri Tirai Bambu terlalu pesat.
Walhasil dana pertahanan China meningkat hampir 100 persen dari tahun 1980-1990.
Kemudian ada langkah panjang membuat militer China modern dimana sejak tahun 1956, 1980 dan 1993, PLA melaksanakan program 'Pedoman Strategis' untuk memperkuat diri sejalan dengan program perekonomian pemerintah.
Langkah militer China memperkuat diri sebenarnya mirip-mirip cara Indonesia saat ini.
Yakni PLA melakukan kerja sama militer dengan negara lain dalam hal ini Uni Soviet untuk memperoleh transfer teknologi.
Kalau zaman sekarang jangan ditanya karena anggaran pertahanan China terbesar kedua di dunia.
Setelah sukses berdikari mencukupi kebutuhan alutsistanya sendiri, China kemudian memasarkannya ke luar negeri.
Negara macam Thailand, Pakistan, Irak hingga Indonesia jadi pembeli alutsista buatan China.
Ketika tahu Indonesia membeli Rafale, China ikutan nimbrung ingin menjual senjatanya kepada Indonesia.
"Beberapa analis percaya bahwa begitu Indonesia dan Australia terjebak dalam perlombaan senjata, kemungkinan besar Indonesia akan terus memasok senjata dari Prancis, dan (kemungkinan) China, sebagai mitra sahabat dan negara tetangga, adalah pilihan pertama Indonesia untuk pembelian senjata," lapor 163.com, Kamis 17 Februari 2022.
Tawaran alutsista yang diberikan China malah lebih murah dari pembelian Rafale.
Yakni paket hemat jet tempur J-10.
China bisa segera mungkin menjual J-10 ke Indonesia tanpa waktu lama layaknya Rafale.
China yakin bila J-10 produksinya tak kalah kelas bila tanding melawan Rafale.
"Ambil contoh jika Indonesia mengimpor jet tempur J-10C, tampaknya juga bisa bersaing dengan jet tempur F-15 dan jet tempur siluman F-35 milik Angkatan Udara Singapura.
Namun, pondasi pesawat tempur berukuran sedang J-10 ini dikutuk Indonesia hanya bisa menggunakannya untuk pertahanan, bukan menyerang," jelas 163.com.
Kemudian media China lainnya, sohu.com pada 30 Desember 2021 lalu mengatakan akan mahal bagi Indonesia membeli Rafale.
Ia mencontohkan India yang kena harga mahal membeli Rafale dari Prancis.
"Mulai ulang pekerjaan penawaran, dan bawa produk seperti Rafale Prancis, Eurofighter Typhoon Eropa, dan bahkan J-10 China.
Perlu Anda ketahui, 36 unit Rafale yang dibeli India sebelumnya menelan biaya sebesar 8,7 miliar dolar AS atau setara dengan sekitar 240 juta dolar AS per harga," jelasnya.
Tapi bila membeli J-10 maka Indonesia akan mendapatkan enam unit jet tempur China tersebut cuma seharga 1 unit Rafale.
"Sebaliknya, harga satuan J-10C yang dibeli Pakistan Railway kali ini hanya 400 miliar dolar AS, yang berarti satu Rafale sebenarnya bernilai 6 J-10C.
Dan dari segi performa, kedua pesawat memiliki kekuatan masing-masing, dan J-10C umumnya tidak kalah dengan Rafale," jelas sohu.com.
Bagi China tak ada alasan sebetulnya Indonesia menolak membeli J-10.
Karena Indonesia sudah mengoperasikan berbagai macam alutsista China sehingga mudah saja mengintegrasikan J-10 kedalamnya.
"Apalagi Indonesia sebelumnya telah membeli rudal anti kapal C 802, roket self-propelled tipe 90B, shipborne rapid-fire gun tipe 730, dan radar AF902 dari China.
Harga J-10 lebih dari 50 juta dolar AS lebih murah daripada Rafale, dan sistem avionik J-10C sangat canggih, jauh lebih unggul dari F-16 dan Su-30 saat ini digunakan Indonesia.
Tidak ada halangan (alasan) untuk (Indonesia) membeli J-10," jelas sina.com pada 16 Maret 2020.
Bahkan pada 2014 silam, Indonesia dan China sepakat melakukan kerja sama pembuatan rudal.
Rudal tersebut ialah C 705.
Dikutip dari news.qq.com, 25 Februari 2014, saat itu Indonesia berharap dapat mengimpor 40 rudal C 705 dari China disertai alih teknologi.
"Sebanyak 2 uji peluncuran dilakukan, semuanya tepat sasaran.
Kami berharap dapat mengimpor 40 C705 untuk kemudian dirakit dan diproduksi di Indonesia.
Saat ini negosiasi transfer teknologi masih berlangsung," ujar news.qq.com pada 2014 lalu.
China akan membantu proses pembuatan C 705 di Indonesia.
Namun tidak 100 persen teknologi C 705 akan diberikan ke Indonesia.
"Sumber China mengatakan bahwa semua teknologi C 705 tidak akan ditransfer ke Indonesia karena lebih banyak negara menunggu untuk membeli C 705," jelasnya.
Namun baru-baru ini pengembangan C 705 yang dilakukan Indonesia sudah mengalami kemajuan.
Hal itu diumumkan oleh China Times pada 6 April 2022.
"Indonesia mengorganisir kelompok penelitian dan pengembangan untuk merekayasa balik senjata peluru kendali untuk membangun industri pertahanan presisinya sendiri.
Target rekayasa balik pertama yang mereka temukan tampaknya adalah rudal anti-kapal C-705 di Benua Tengah," lapor China Times.
Rupanya C 705 yang versi lokalnya bernama C 704 pernah menjadi senjata yang diselundupkan.
Hal itu terjadi pada 16 Maret 2011 kala IDF Israle mencegat pengiriman enam unit C 704 dari Turki ke Alexandria Mesir di atas kapak kargo berbendera Liberia.
Hasil analisis intelijen Israel, Tel Aviv mengatakan bila C 704 itu berasal dari Iran dan sejatinya akan dikirim ke Jalur Gaza.
Nantinya C 704 akan digunakan Hamas untuk menyerang kapal perang Israel.
Jika benar pengembangan rudal C 705 China sukses, maka Indonesia mengalami lompatan teknologi pertahanan cukup signifikan. [qnt]