WAHANANEWS.CO, Jakarta - DPR RI akhirnya mengambil keputusan bersejarah yang membuat publik terhenyak, dengan resmi menghentikan tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan untuk seluruh anggotanya mulai 31 Agustus 2025, sebuah langkah yang lahir dari tekanan rakyat dan gelombang protes jalanan.
Keputusan tersebut diputuskan dalam rapat pimpinan DPR bersama fraksi-fraksi sebagai jawaban atas desakan publik, termasuk dokumen “17+8 Tuntutan Rakyat” yang ramai diperbincangkan.
Baca Juga:
Andre Rosiade Sebut Seluruh Fraksi Sepakat Penghapusan Tunjangan Rumah DPR
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa penghentian tunjangan rumah ini merupakan titik awal reformasi fasilitas anggota dewan.
“Poin pertama, DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR RI terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2025,” ujar Dasco dalam konferensi pers di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2025).
Ia juga menegaskan bahwa DPR akan melakukan evaluasi terhadap fasilitas lain, mulai dari biaya langganan listrik, jasa telepon, tunjangan komunikasi intensif, hingga tunjangan transportasi.
Baca Juga:
DPR Pangkas 5 Tunjangan, Take Home Pay Anggota Jadi Rp 65,6 Juta
“Kami mohon maaf kepada rakyat dan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fasilitas yang selama ini diterima anggota DPR,” tambah Dasco.
Rincian gaji dan tunjangan DPR RI sebelum tunjangan rumah dihapus memperlihatkan angka fantastis.
Gaji pokok untuk Ketua DPR RI mencapai Rp5.040.000, Wakil Ketua Rp4.620.000, dan Anggota Rp4.200.000.
Komponen tunjangan meliputi Tunjangan Jabatan Ketua Rp18.900.000, Wakil Ketua Rp15.600.000, Anggota Rp9.700.000, Tunjangan Konstitusional Rp57.433.000, Tunjangan Suami/Istri Rp420.000, Tunjangan Anak Rp168.000, Tunjangan Beras Rp289.680, dan Uang Sidang/Paket Rp2.000.000.
Pajak penghasilan dipotong 15 persen sebesar Rp8.614.950, namun ditanggung negara sesuai PMK No. 262/PMK.03/2010.
Sebelum dihapus, tunjangan rumah DPR RI bernilai Rp50.000.000 per bulan, di luar tunjangan komunikasi intensif dan transportasi yang kini dalam evaluasi.
Dengan komposisi tersebut, take-home pay Ketua DPR RI sebelumnya berada di kisaran Rp135–140 juta per bulan, Wakil Ketua Rp125–130 juta per bulan, dan Anggota Rp120 juta per bulan.
Namun, kontras terlihat di tingkat daerah.
DPRD DKI Jakarta masih menerima tunjangan rumah dengan jumlah lebih besar, yakni Rp78,8 juta per bulan bagi Ketua dan Wakil Ketua, serta Rp70,4 juta bagi anggota.
Hal ini diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang ditandatangani Anies Baswedan.
Selain tunjangan rumah, anggota DPRD DKI juga memperoleh Tunjangan Komunikasi Intensif sekitar Rp21 juta, Tunjangan Transportasi Rp21,5 juta, Tunjangan Reses Rp21 juta, Uang Representasi Rp2,25 juta, Tunjangan Jabatan Rp3,26 juta, serta tunjangan keluarga, beras, paket, dan AKD senilai Rp1–2 juta.
Honor rapat maksimal bisa mencapai Rp10,5 juta per bulan.
Dengan total bruto, Ketua atau Wakil Ketua DPRD DKI dapat meraih sekitar Rp139 juta per bulan, sementara anggota sekitar Rp130 juta per bulan.
Setelah pajak ditanggung negara, take-home pay Ketua/Wakil Ketua DPRD DKI berkisar Rp135–138 juta per bulan, sedangkan anggota Rp111–115 juta per bulan.
Menanggapi sorotan publik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Ima Mahdiah menyatakan pihaknya terbuka pada kritik dan akan menyesuaikan tunjangan dengan kemampuan Pendapatan Asli Daerah.
“Kami nanti akan sesuaikan dengan PAD yang ada. Terkait gaji dan tunjangan, kami pastikan apa yang kami dapat dikembalikan kepada masyarakat melalui advokasi, aspirasi, dan sebagainya,” ujar Ima di Gedung DPRD DKI, Kamis (4/9/2025).
Meski begitu, gelombang protes tetap menguat.
Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPSI) menggelar aksi di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, menuntut transparansi serta peninjauan ulang terhadap tunjangan yang dinilai tidak proporsional.
Penghapusan tunjangan rumah DPR RI memang menjadi langkah awal reformasi legislatif, namun disparitas dengan DPRD DKI Jakarta menimbulkan pertanyaan besar soal keadilan fiskal dan efisiensi anggaran.
Kini, evaluasi menyeluruh terhadap fasilitas legislatif di pusat maupun daerah menjadi tuntutan publik yang tak bisa lagi diabaikan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]