WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tren lari atau jogging belakangan ini kian digandrungi di berbagai kota di Indonesia. Tren itu juga dibarengi dengan munculnya fotografer dadakan.
Fotografer-fotografer tersebut muncul di beberapa titik jalan yang biasa dilalui para pelari dan siap memotretnya.
Baca Juga:
Usut Dugaan Korupsi Proyek Miliaran Rupiah di Dinkes Nias Barat, Kejaksaan akan Turunkan Tim Ahli
Beberapa pelari mungkin dipotret tanpa izin dan kemudian fotonya dijual oleh sang fotografer melalui marketplace seperti FotoYu.
Lantas, apakah fotografer bisa digugat karena memotret tanpa izin?
Penjelasan ahli hukum Ahli hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengonfirmasi bahwa pelari bisa menggugat fotografer jika difoto tanpa izin.
Baca Juga:
Vonis Banding Harvey Moeis dan Helena Lim Disorot, Ahli Sebut Tidak Proporsional
Dia menyebutkan bahwa gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum (PMH) tersebut bisa dilakukan di pengadilan negeri.
“PMH karena tidak izin untuk mengambil gambar yang menimbulkan kerugian pada objek foto baik materiil maupun inmateriil,” kata Abdul melansir Kompas.com, Jumat (31/10/2025).
Hal tersebut berlaku jika foto diporter tanpa izin orang yang terlihat dan fokus terhadap wajahnya.
Namun gugatan itu tidak berlaku jika foto yang fokusnya terhadap keadaan sekeliling tanpa ada objek orang tertentu.
“Kalau memotret dalam suatu event tertentu atau pertandingan, maka pemotret tidak bisa dituntut karena acara itu milik publik,” tutur Abdul.
Adapun fotografer bisa terjerat Pasal 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu, fotografer yang memotret tanpa izin juga bisa dikenakan Pasal 310 KUHP sebagai pencemaran nama baik.
“Dasar hukum yang perdata, Pasal 1365 KUHPerdata,” terang Abdul.
Apabila foto yang disebarkan berisi unsur penghinaan, maka pelari juga bisa melakukan gugatan terhadap fotografer.
Hal itu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pelari atau masyarakat juga bisa menggugatnya berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Berdasarkan Pasal 4 UU PDP, data pribadi yang bersifat spesifik salah satunya adalah data biometrik.
Sementara data biometrik adalah data yang berkaitan dengan fisik, fisiologis, atau karakteristik perilaku individu.
“Yang dimaksud dengan ‘data biometrik’ adalah data yang berkaitan dengan fisik, fisiologis, atau karakteristik perilaku individu yang memungkinkan identifikasi unik terhadap individu, seperti gambar wajah atau data daktiloskopi,” bunyi UU PDP.
“Data biometrik juga menjelaskan pada sifat keunikan dan/atau karakteristik seseorang yang harus dijaga dan dirawat, termasuk namun tidak terbatas pada rekam sidik jari, retina mata, dan sampel DNA,” sambungnya.
Sehingga, sang pelari atau penggugat berhak menerima ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh fotografer.
Tanggapan Kemenkomdigi
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) Alexander Sabar menyampaikan setiap pemotretan dan publikasi foto harus memperhatikan aspek hukum dan etika pelindungan data pribadi.
“Foto seseorang, terutama yang menampilkan wajah atau ciri khas individu, termasuk kategori data pribadi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik,” kata dia melalui keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (31/1/2025).
“Foto yang menampilkan wajah seseorang termasuk data pribadi dan tidak boleh disebarkan tanpa izin,” sambungnya.
Setiap bentuk pemrosesan data pribadi, mulai dari pengambilan, penyimpanan, hingga penyebarluasan harus memiliki dasar hukum yang jelas. Misalnya, melalui persetujuan eksplisit dari subjek data.
Selain itu, Alexander juga mengingatkan bahwa fotografer wajib menghormati hak cipta dan hak atas citra diri.
“Tidak boleh ada pengkomersialan hasil foto tanpa persetujuan dari subjek yang difoto,” tuturnya. Kemenkomdigi akan mengundang perwakilan fotografer dan asosiasi profesi seperti Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) serta Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memperkuat pemahaman tentang kewajiban hukum dan etika fotografi di ruang digital.
“Kami ingin memastikan para pelaku kreatif memahami batasan hukum dan etika dalam memotret, mengolah, dan menyebarluaskan karya digital. Ini bagian dari tanggung jawab bersama untuk menjaga ruang digital tetap aman dan beradab,” jelas Alexander.
Pihaknya juga terus meningkatkan literasi digital masyarakat, termasuk pemahaman tentang pelindungan data pribadi dan etika penggunaan teknologi, baik di bidang fotografi maupun kecerdasan buatan generatif.
Upaya ini menjadi bagian dari komitmen dalam membangun ekosistem digital yang aman, beretika, dan berkeadilan, serta memperkuat pengawasan aktif dan responsif terhadap dugaan pelanggaran undang-undang.
[Redaktur: Alpredo Gultom]