WAHANEWS.CO, Jakarta – Vonis banding terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin dan Helena Lim selaku Manajer PT Quantum Skyline Exchange dalam kasus timah, dinilai Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita tidak proporsional.
Sebab, kata dia, Harvey bukan merupakan penyelenggara negara maupun direksi PT Timah Tbk., sedangkan Helena hanya berperan sebagai pengusaha layanan penukaran uang.
Baca Juga:
Pemkab Nias Barat Libatkan Ahli Cek Keaslian Foto-Video Khenoki Waruwu dan Kadis Pariwisata
"Helena dan Harvey sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun," nilai Romli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (14/2/2025) mengutip ANTARA.
Menurut dia, kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara.
Di sisi lain, sambung dia, penilaian terhadap Harvey sebagai aktor intelektual dalam kasus tersebut juga keliru lantaran Harvey hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar, melainkan warisan turun-temurun.
Baca Juga:
Kasus Perundungan Mahasiswi PPDS Undip, Penyidik Periksa Ahli Autopsi Psikologis
"Harvey dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," kata salah satu perancang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tersebut.
Selain itu, dia menambahkan bahwa dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey dengan terdakwa lain juga tidak terbukti selama persidangan, sehingga dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi timah, secara normatif berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999, bukanlah tindak pidana korupsi.
Apalagi, Romli menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi.